Jakarta/ Desember 2016 –
Saya adalah salah satu aktivis gerakan pemuda mahasiswa Papua yang
mendapatkan beasiswa dari ELSAM dan PBI untuk mengikuti Kursus Dasar
Pembela HAM selama tujuh bulan pada 2016. Saya alumni Kursus Dasar
Pembela HAM Angkatan ke III.
Saya mengucapkan terima kasih pada SKPKC
Fransiskan Papua yang telah merekomendasikan saya untuk mengikuti
program pendidikan HAM ini. Ini adalah kesempatan langka dan berharga
bagi kami. Karena merujuk pada ketentuan yang ada di ELSAM dan PBI,
pendidikan ditujukan bagi para pembela HAM yang sehari-hari melakukan
kerja advokasi dalam organisasi non pemerintah atau LSM. Namun,
organisasi mahasiswa yang saya gerakkan, GempaR Papua, juga membantu dan
bekerjasama dengan beberapa LSM di Jayapura khususnya, dalam kampanye
hak asasi manusia. Sehingga penting bagi kami
untuk memahami strategi
advokasi hak asasi manusia.
Selama empat bulan saya menghabiskan
waktu di Jakarta. Mendapatkan berbagai materi hak asasi manusia,
monitoring dan dokumentasi, advokasi, instrumen HAM, hingga keamanan.
Selama di Jakarta peserta juga difasilitasi untuk membangun jaringan,
baik antar individu maupun antar lembaga, guna keperluan kerja-kerja HAM
yang lebih efesien. Setelah waktu empat bulan berakhir, kami
menyelesaikan tugas akhir, yaitu melakukan riset lapangan selama tiga
bulan di wilayah masing-masing. Judul riset yang diusulkan peserta akan
dianalisa sesuai realita di lapangan dan juga analisa hukum HAM secara
universal, sehingga dapat dipilih apakah isu tersebut berkaitan dengan
persoalan Sipil Politik atau Ekonomi Sosial Budaya. Selanjutnya
disetujui sebagai desain riset oleh tim mentor. Riset yang saya angkat
tentang campur tangan militer dan polisi dalam kasus sengketa tanah pada
mega industri pertanian di Muting, Merauke.
Hasil riset saya telah didokumentasikan
bersama dengan riset lima orang peserta kursus lainnya. Diterbitkan oleh
ELSAM dan PBI menjadi sebuah buku dengan judul “Pembela HAM Menulis:
Bunga Rampai Pendokumentasian Situas HAM di Tanah Papua”. Dan pada
Oktober 2016 telah dipublikasikan (soft launching) dalam forum internal alumni kursus pada acara Training of Trainers di P3W Jayapura.
Pada November 2016, ELSAM dan PBI mendapat undangan dari EU Protect Defenders
untuk mengikuti konferensi pembela HAM dari berbagai negara di dunia.
Konferensi tahun ini mengangkat tema “Pembela HAM Bukan Kriminal”. PBI
dan ELSAM melakukan seleksi terhadap alumni kursus, dan saya terpilih
untuk berangkat ke Uni Eropa menghadiri forum itu di Brussel, Swedia.
Sebagai aktivis gerakan pemuda mahasiswa
yang pro terhadap demokrasi dan hak asasi manusia di Papua, sekaligus
sebagai korban krimininalisasi dan tindak kekerasan oleh aparat keamanan
(polisi), ELSAM dan PBI merasa penting untuk mengirim saya. Dengan
harapan dalam konferensi itu dapat berbagi informasi dan pengalaman
dengan para pembela HAM yang hadir, tentang situasi pelanggaran hak
asasi manusia di negara-negara asal peserta serta mendapat pembelajaran.
Mandat dari EU Protect Defenders adalah memfasilitasi para
pembela HAM di seluruh dunia untuk membagikan informasi terkait dengan
pelanggaran HAM di wilayahnya masing-masing.
Dalam konferensi yang dihadiri oleh
sekitar 200 orang itu, hanya beberapa panelist dari negara-negara
tertentu yang dipilih untuk mempresentasikan situasi HAM di daerah.
Untuk delegasi asal Indonesia, dan kebetulan yang menghadiri adalah saya
sendiri, sehingga saya diberi kesempatan sebagai pembicara, dengan
durasi waktu yang sangat terbatas. Seperti apa situasi kebebasan
berekspresi di Indonesia, khususnya dua tahun terakhir ini. Bagaimana
Indonesia menjalankan kewajibannya terhadap implementasi hak kebebasan
berkespresi warga negaranya, khususnya di Papua.
Hingga sekarang, para aktivis di Papua
masih terus mengalami tindakan represif oleh aparat. Banyak aktivis
ditangkap, disiksa, dan dipenjara karena menyampaikan pendapatnya di
muka umum, berserikat dan berkumpul. Mereka yang aktif melakukan
kampanye hak asasi manusia (hak kebebasan berekspresi, anti penyiksaan,
hak rakyat atas akses ekonomi, sosial, dan budaya, hak atas menentukan
nasib sendiri, dan lainnya) tidak terlepas dari ancaman kriminalisasi.
Dan bukan hanya kriminalisasi, tapi juga ancaman fisik dan nyawa. Pada
Mei 2016, Robert Jitmau, seorang aktivis Papua yang gencar melakukan
perjuangan untuk pedagang asli Papua, ditabrak, dan meninggal dunia.
Diduga keras, penabrakan itu sengaja dilakukan, sebagai dampak dari
kerja-kerja kemanusiaan yang selama ini dilakukan oleh Robert Jitmau.
Saya juga berbagi pada audience,
bagaimana ketika saya harus berurusan dengan pihak kepolisian yang
terus menerus melarang demonstrasi mahasiswa dan pemuda di Papua.
Bagaimana aparat kepolisian berusaha menjerat setiap aktivis yang tetap
melakukan aksi tanpa mempedulikan larangan tersebut. Kriminalisasi
terhadap saya terjadi pada aksi 7 November 2013. Aksi itu untuk menolak
kebijakan Otonomi Khusus plus atau Otsus Plus di Papua. Apa yang kami
suarakan berbuah penjara bagi saya.
Seusai konferensi saya difasilitasi oleh Mr. Paul, seorang relawan yang bekerja untuk PBI, bertemu dengan Deputy Head of Devition South Easth Asia.
Kami berdiskusi tentang situasi hak hidup masyarakat adat di sejumlah
negara, termasuk Papua. Di dunia ini, investasi telah mengancam hak
hidup penduduk asli. Laju investasi besar-besaran di Papua akan
mengancam kehidupan orang Papua. Masuknya berbagai investasi perusahan
seperti kayu, tanaman padi, tebu, hingga kelapa sawit yang
mengalihfungsikan hutan adat masyarakat menjadi perkebunan itu memiliki
dampak negatif yang besar terhadap eksistensi masyarakat adat Papua.
Misalnya project Merauke Integrated Food and Energy Estate
(MIFEE) di Papua Selatan yang memakan 1,2 juta hektar lahan, dengan
praktek manipulasi lahan yang didiamkan pemerintah. Hal itu seperti yang
saya temukan dalam riset lapangan saya pada Kursus Pembela HAM
ELSAM-PBI, yang saya lakukan di Muting, Merauke pada Juni-Agustus 2016
dengan studi kasus Project MIFEE.
Perjalanan ini saya akhiri dengan
bertemu jejaring kerja advokasi HAM di tingkat international. Kami
bertemu dengan mereka di sebuah gedung pemerintahan di Kota Bonn,
Jerman. Dalam forum ini kami saling bertukar pengalaman dan informasi,
khususnya tentang kebijakan pemerintah. Kebijakan-kebijakan yang
diskriminatif terhadap penduduk asli, yang menimbulkan berbagai bentuk
persoalan hak asasi manusia, juga kebijakan-kebijakan yang menjadi alat
kriminalisasi terhadap aktivis.
Oleh: Yason Ngelia (Alumni Kursus Dasar pembela HAM Angkatan III)
Editor: Adiani Viviana
Tentang EU Protect Defenders dabat dibaca di https://www.protectdefenders.eu/en/index.html
Tentang Kursus Dasar Pembela HAM oleh ELSAM dan PBI dabat dibaca di http://elsam.or.id/2017/11/profil-kursus-dasar-pembela-ham/
No comments:
Post a Comment