Selasa 2 Oktober 2018, Perahu Adat milik Suku Biak bersandar di Pantai dok II Jayapura sejak pukul sepuluh pagi hari. Perahu tersebut dinahkodai oleh Denis Koibur Seorang Budayawan dari Mokmer Biak, dengan menempuh perjalanan selama seminggu lebih. Setibanya di pantai ada prosesi penyambut adat oleh kepala suku di Jayapura, sebelum akhirnya “kaka” Denis Koibur bersama tim di sambut oleh Pemerintah Provinsi Papua.
Saya tiba setelah semua prosesi itu usai, lalu mengabadikan perahu tersebut dari kejahuan. Awalnya saya merasa miris melihat kibaran “merah putih” diatas perahu itu, karena saya adalah salah satu pemuda yang pro terhadap kemerdekaan Papua. Namun, fakta dan pengalaman saya sebagai salah satu penghuni kampus orange yang pernah tinggal dekat bersama beliau, serta melihat perjuangan seniman dan budayawan “Denis Koibur” sehari-harinya, membuat “Kibaran Merah Putih” menjadi alasan tidak cukup kuat untuk tidak memberikan apresiasi setingi-tinginya kepada kaka Denis. Saya menghampirinya lalu berjabat tangan, dan dibalas dengan ucapan selamat atas pernikahan saya beberapa minggu lalu, kaka Denis memohon maaf karena terlambat memberikan ucapan. Saya senang mendengarnya siang itu “Selamat, kaka minta maaf, seharusnya kaka hadir tetapi begitu sudah” katanya dengan tutur kata yang lembut dan ramah khas beliau. Selang Beberapa waktu, Perahu Adat Suku Byak yang disebut “Wairon” merapat ke bibir pantai dan kaka Denis pun kembali naik ke Wairon buatannya dan pergi meninggalkan Pantai Dok II.
Tak lama setelah itu, saya juga meningalkan Kupang (kursi panjang), dengan diam-diam ada rasa bangga untuk capaian dari seorang yang saya kenal sangat sederhana ini. Perasaan subjektif itu wajar saja, karena sebelum kaka Denis dikenal masyarakat seperti hari ini. Kaka adalah penjaga mahasiswa Fisip-Uncen (secara tidak langsung) sejak selesai kuliahnya dari Jurusan Antropologi pada 2003. Kisahnya sendiri dimulai sejak 1998 saat ia mulai menempuh studinya, dia sudah menjadi penghuni salah satu kampus di Uncen Abe, sambil kuliah, Kaka Denis bekerja sebagai cleaning servis di kampus itu, sebelum akhirnya pindah ke kampus Fisip Uncen-Waena. Menurut penuturannya dia mulai bekerja dari tidak dibayar sama sekali hingga akhirnya dibayar alakadarnya. Baginya yang terpenting adalah tetap memiliki ruang yang bebas untuk membuat bengkel budaya Biak miliknya. Tawaran menjadi pengajar di beberapa kampus pun di tolaknya.
Selama menjadi penghuni tetap kampus Fisip, kaka Denis adalah penjaga para aktivis gerakan mahasiswa, maupun aktivis Senat/Bem Mahasiswa Fisip-Uncen, yang biasa bermalam setiap hari dikampus. Cerita itu sudah melegenda, karena selalu diceritakan oleh para senior kami di Kampus orange. Saya sendiri baru menjadi bagian keluarga besar Mahasiswa Fisip-Uncen pada 2008 dan bergabung bersama penghuni kampus lain di akhir tahun 2010-2013. Selama bersama, beliau layaknya seorang kaka, kaka Denis mengetahui setiap aktivitas hingga masalah pribadi kami adik-adiknya. Baik latar belakang keluarga kami, perkualiahan kami, sampai juga kisah asmara. Kaka Denis juga demikian terbuka secara pribadi dengan kami, tentang keluarganya, maupun visi-misinya terkait budaya yang sangat jauh kedepan.
Tetapi sebagai mahasiswa yang tinggal dikampus, belajar organisasi, terlibat aktivitas gerakan mahasiswa, mendengar semua yang kaka Denis cerita tiap malam itu seperti angin lalu, tidak nyambung dengan pemikiran saya yang politis. Namun disisi lainnya, kerja keras kaka Denis itu semakin banyak mendapatkan appresiasi orang. Menurutnya, beberapa budayawan nasional maupun asing pernah datang menjumpainya, ada yang membeli Tifa dari bengkelnya, ada yang memesan dibuatkan Tifa Biak dengan ukuran tertentu, beberapa foto sering diperlihatkan kepada saya dan kawan-kawan lain. Saat kami menghabiskan waktu duduk mendengarkannya. Namun persoalan apakah kami memahami arah pemikiran kaka Denis tentang kebudayaan, mitos-mitos, roh leluhur; itu soal lain lagi.
Karena kebiasan kaka Denis Bercerita panjang lebar tentang kebudayaan Papua, seorang kawan kami yang baru mengenalnya mengatakan bahwa, “mendengar cerita kaka Denis seperti menonton film budaya Papua pada masa lalu” (hehe). Saya percaya seperti itu adanya. Siapapun yang pernah mendengarkanya pasti punya persepsi berbeda tentang cara Napi Koibur ini bercerita. Tutur katanya pelan dan santun, biasanya memanggil nama kami adik-adiknya diawali kata “kaka” mungkin mengikuti pangilan anaknya. Setiap katanya selalu kami tunggu karena terdapat motivasi, nasehat, terkadang diselipkan dengan pesan-pesan spritual dan mistis.
Pada tahun 2012 kami kaget dengan hadirnya truck bermuatan kayu yang telah dipotong-potong. Truck itu menuangkan semua kayu berukuran satu meter depan rumah kami, sebuah bangunan sengketa antara pemerintah daerah dan pihak kampus (dekenat Fisip-Uncen). Kaka Denis mengatakan bahwa, ini adalah seperti yang sering dia ceritera, bahwa akan ada acara budaya Papua yang besar kedapannya. Lanjutnya, beberapa Gereja Pertobatan memintahnya untuk membuat 1000 Tifa, untuk dipakai dalam ibadah raya mereka.Walau Kaka Denis kadang menyindir mereka juga, katanya dahulu mereka (gereja) membakar peralatan budaya nenek moyang orang Papua sekarang mereka datang memintanya membuat tifa untuk ibadah dalam gedung gereja.
Namun belakangan diketahui bahwa kegiatan tersebut tidak terjadi, menurut informasi hal itu disebabkan salah seorang Pendeta yang memesan telah meninggal dunia, sedangkan Tifanya sendiri tidak diselesaikan. Saya berfikir, mungkin kedepannya untuk membuat Tifa sebanyak itu, kaka Denis sudah harus membutuhkan tenaga untuk kerja, baik itu seniman mudah, ataupun pekerja bayaran, supaya setiap proyek besar seperti itu dapat selesai sesuai target.
Setelah tidak lagi tinggal bersama kaka Denis dan kawan-kawan di kampus, saya mendapat informasi tahun 2015 bahwa kaka Denis telah pulang ke Biak dan membuat bengkel Tifa di kampung halamannya Mokmer, Biak Barat. Saya merasa sedih mendengar itu. Saya yakin banyak hal luar biasanya yang akan ikut bersama kaka Denis ke Mokmer.
Saya membayangkan suasana dekorasi gedung yang mewah akan hilang, taman-taman bunga yang indah akan dikuasai hutan rumput, disipilin waktu masak hingga makan bersama pada meja besar berdekorasi budaya Papua yang sangat klasik juga lenyap, piring pelastik yang dibenci kaka Denis akan kembali ke rumahnya di kampus itu, kebun dua hektar miliknya dibalik gunung Uncen ikut ditutup rumput liar. Kolam ikan lele yang dibuatnya bersama Napi Maron, dan Sam Koibur tepat disamping gedung, juga telah lenyap. Terakhir tentu merdunya suara-suara Tifa setiap hari, menjadi sunyi sepi. Kampus akan tidak bernyawa dengan hilangnya suara Tifa setiap Sore hari.
Tetapi semua yang baik itu, saya percaya kaka Denis sudah berikan kepada kami aktivis mahasiswa Fisip-Uncen selama ini, namun mungkin terbatas sampai disitu. Sebaliknya perjalanan hidup kaka Denis Koibur dari tukang bersih-bersih kampus Fisip-Uncen, penjaga kami di malam hari, baru akan dimulai. Hari ini Kaka Denis Koibur kembali ke Jayapura dengan pengakuan dan identitas baru yaitu sebagai “Seorang Budayawan Suku Biak”. Selamat kaka ku, Semoga Sinan Bepon dan seluruh alam Negri Papua memberkati mu sampai akhirnya. Hormat !!
Yason Ngelia
Ketua Bem Fisip Uncen Periode 2013-2014
Mantan Penghuni Kampus Oranges
03 Oktober 2018
No comments:
Post a Comment