Tidak bisa kita pungkiri bahwa kejatuhan Soeharto dan reformasi 1998 adalah awal yang baik untuk perkembangan gerakan sipil di Papua khususnya mahasiswa. Terbukti dengan hadirnya Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan digadang-gadang menjadi organisasi legal gerakan mahasiswa Pertama dalam sejarah perjuangan.
Kebangkitan gerakan sipil dengan hadirnya AMP itu diukur dari wujud organisasi. Walaupun baru setelah kongres AMP 2005 berbenah. Tetapi dalam proses mendorong hadirnya berbagai organisasi seperti FNMP, SONAMAPPA, DLL. Hingga sekarang.
Apakah sebelum AMP tidak ada gerakan mahasiswa? Tentu ada. Ada pergerakan mahasiswa, tetapi ketergantungan kepada organisasi secara benar, melalui tahapan organisasi yang benar, belum ada. Saya ambil contoh misalnya gerakan mahasiswa Jakob Pray punya sejarah itu, Arnold Ap, Beni Wenda, dll. Atau gerakan sporadise dengan menaikan bendera Bintang Fajar secara tertutup oleh mahasiswa Uncen pada 1980an.
Setelah proses pematangan AMP menjadi organisasi gerakan, dengan AD/ART, dengan strategi, tahapan, dan kerja jangka pendek dan panjang. Membuat perjuangan sipil semakin maju, banyak kader yang berhasil memahami gerakan perlawanan secara ideologis mulai merealisasikan dalam perjuangan sipilnya.
Selain AMP sebagai yang perdana, puluhan gerakan mahasiswa dan pemuda hadir, berusaha membangun jaringan dengan kelompok tua, membangun organ pemersatu, begitu terus dilakukan sampai sekarang. Ada sebuah proses yang datar dan mudah di tebak arah pergerakan mahasiswa, pemudanya. Setelah KONGRES II, WPNCL,KONGRES, ULMWP, kita akan menebak bahwa akan ada kondisi yang berulang kembali dan seterunya.
Gerakan sipil tetap pada kondisi yang sama, eforia politik yang sama, janji-janji yang sama, tetapi pencapaian yang abstrak. Yang terjadi adalah kejenuhan dari masyarakat sipil, maupun pejuang itu sendiri.
Jadi kondisi hari ini ada banyak kemungkinan, entah karena kejenuhan terhadap perjuangan itu sendiri atau memang karena lemahnya Sumber Daya Manusia (SDM), sehinga tidak mampu mengembangkan pola pikir dan tidak mampu mengembangkan orgnisasi, tidak mampu memimpin dan tidak mampu pula untuk dipimpin.Sehinggagerakan sipil itu tidak mampu maju, kalaupun maju maka hanya akan berada di keadaan yang sama (ritme gerakan yang sama). Seperti contoh selama ini: membangun organisasi; terceraiberai; selanjutnya bangun kembali yang baru; terpecah dan membangun kembali.
Selain memiliki bentuk pergerakan yang seperti itu. Metode gerakan sipil yang digunakan oleh para pejuang selama 17 tahun terakhir juga relatif tidak berkembang, Walupun memiliki kekuatan yaitu organisasi (dalam arti sebenarnya), isu dan arah kerja organisasi yang jelas.
Itu bisa dilihat dari metode-metode pergerakan sipil yang dilakukan. Demonstrasi misalnya, dilakukan mengandalkan basis masyarakat dan mahasiswa yang secara kesadaran masih cair. Demonstrasi hanya mampu digerakan oleh aktivis, semakin besar demontrasi dilalakukan tergantung juga kepada jumlah anggota organisasi, baik anggota kader yang terdidik maupun yang hanya terlibat saat melakukan aksi.
Sedangkan untuk seminar-seminar yang dilakukan oleh organisasi gerakan pemuda, maupun gerakan mahasiswa selalu memafaatkan mement yang berkembang di masyarakat. Pergerakan seperti telah terpolarisasi (diarahkan) jarang menciptakan momentum politiknya. Jarang ada seminar-seminar yang bertemakan ideologis seperti pemetaan pemikiran tokoh revolusioner yang dikontekstualkan, atau membaca perkembanga gerakan masyarakat di berbagai dunia untuk kepentingan internal gerakan maupun masyarakat luas.
Sehingga tidak melulu seminar dilakukan berdasarkan kondisi sosial yang diciptakan Penjajah. Jangankan seminar, diskusi-diskusi internal organisasi, maupun lintas organisasi gerakan sangat jarang dilakukan. Sekedar berkumpul rutin untuk pembacaan situasi sangat susah. Padahal para pejuang memiliki waku yang terlampau cukup untuk aktivitas perjuangan.
Belum ada improfisasi dari metode-metode pergerakan selama ini. Demonstrasi adalah salah satu cara mendidik militansi anggota dan kader. Bersyukur demosntrasi juga mempengaruhi opini publik melalui pemberitaan yang meluas, tetapi terkadang mendapat counter-conuter opini dari kelompok media tertentu, maupun masyarakat. Hal seperti itu akan terus terjadi selama metode demonstrasi tidak berubah, baik kuantitas maupun kualitas (bisa juga kreatifitas). Improfisasi metode pergerakan selain demonstrasi juga masih belum mendapatkan dukungan jelas dari banyak pejuang gerakan selama ini, sehingga menjadi beban bagi pergerakan sipil yang memumpuni.
Saya berfikir bahwa penyabab dari keadaan kita tersebut, adalah Masalah Sumber Daya Manausia. SDM yang saya maksud bukan “bodoh” seperti yang dipahami. Masalah ini menyebabkan aktivis tidak mampu memimpin dan juga sebaliknya dipimpin. Aktivis tidak memahami tugas-tugas revolusioner yang dibicarakan dalam forum formal (kongres, konferensi, dll) maupun diskusi rutin yang mungkin dilakukan secara internal. Tidak ada totalitas dalam perjuangan, datang dan pergi seenanknya. Para pejuang bahkan tidak memiliki target secara individu sehingga sulit mengikuti keputusan kolektif organisasi.
Selain itu para pejuang yang ada dalam organisasi, maupun lintas organisasi tidak ada budaya kritik oto ktitik sehingga perjuangan menjadi kaku dan monoton. Sekali mengkritik justru masuk kerana privat dan subjektif, tuding menuding berdasarkan asumsi pribadi dan kelompok tanpa bukti yang benar. Diperparah dengan tidak memiliki ruang-ruang kritik yang tepat sehingga media sosial (medsos) menjadi media utama saling mencaci. Sejauh ini kita beruntung karena “musuh” belum cerdas mengelola setiap kritikan subjektif menjadi senjata untuk menyerang kembali hingga membunuh perjuangan besar ini.
Sebagai usulan
Masalah ideologi. Ideologi adalah gagasan yang wajib ada dalam organisasi. Dimana disepakati oleh individu kader organisasi tersebut. Mereka bersepakat memahami ideologi seperti apa yang tepat. Pentingnya ideologi adalah mengenal musuh dan bagaimana tahapan mengalahkan musuh tersebut. Sebab sejatihnya dari perjuangan politik tidak sampai di kemerdekaan, tetapi melewati masa tersebut. Ideologi akan menuntun kita.
Kelas masyarakat. Pengorganisiran massa rakyat secara tepat dan benar. Papua terdiri dari dua provinsi dengan puluhan kabupaten. 2 Kota, ribuan distrik dan ribuan kampung. Ada sekitar 300an suku bangsa. Semuanyanya memilki persoalan politik, sosial, ekonomi, yang berbeda-beda. Selama ini perjuanga hanya dilandasi secara politik secara umum (peristiwa 1961), saat dimana banyak daerah bahkan tidak mengikuti proses tersebut tahun itu, bahkan malas tahu dengan keadaaan.
Sehingga keadaan shykologis rakyat hari ini tidak dapat diprediksi.
Pandangan umum terhadap rakyat Papua. Selama ini aktivis pergerakan politik, maupun pemuda mahasiswa selalu mengklaim rakyat tertindas secara umum begitu juga dengan solusi yang ditawarkan. Sehingga ketika terjadi penolakan-penolakan langsung maupun tidak oleh mayarakat Papua terhadap pergerakan dan perjuangan diangap sebagai musuh, penghianat, atau kelompok yang dibayar untuk tunduk kepada Indonesia. Hal itu disebabkan karena lemahnya pemetahan aktivis perjuangan terhadap masyarakat itu sendiri. Seharunsya para pejuang melihat rakyat Papua mengunakan analisa kelas yang tepat, dilihat secara intensitas dia, bukan secara umum pada orang Papua berkulit hitam dan rambut keriting.
Diplomat. Memandangan bahwa perjuangan yang jauh lebih penting adalah aktivitas diplomasi, dan bukan sebaliknya bahwa perjuangan membangun kesadaran rakyat secara nasional, memalui organisasi yang ada di Papua. Cara pandang yang selama ini, seperti itu. Bukan hanya oleh para pejuang di Papua melainkan juga datang dari para diplomat yang sedang mendorong kampanye-kampanye HAM dna Politik di luar Papua. Sehingga memontum aksi-aksi sipil yang dilakukan justru terjadi berdasarkan perhitungan dari luar bukan berdasarkan perhitungan pejuang dalam negri tentang pencapain organisasi, sykologis rakyat, kelompok kepentingan yang ada, sehingga perlawanan jauh lebih matang, ketika ada ada counter revolusi gerakan dalam posisi yang siap.
Misalnya aksi-aksi yang terjadi chaos, para pimpinan gerakan yang dikriminalisasi, mendapat DPO justru pergerakan semakin tidak efektif. Karena perjuangan sipil kita terpatron (memliki ketergantungan) kepada individu di dalam negri. Dan masih banyak pertimbangan yang saya rasa relefan dari kesalahan pahaman berfikir selama ini.
Organisasi Organisasi. Semakin banyak organisasi perjuangan semakin baik. Lebih-lebih memliki isu serta strategi perjuangan yang juga berbedah-bedah. Terpenting adalah komunikasi dan ruang-ruang lintas organisasi perjuangan tersebut, sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman. Kadang kita selalu berfikir bahwa isu sektoral adalah isu yang telah dan diluar dari perjuangan selama ini. Kita lupa kalau persoalan tersebut adalah masalah sehari-hari rakyat Papua yang harus diakomodir dalam perjuangan-perjuangan politik kita.
Untuk mengakomodir itu maka harus ada peran-peran yang dilakukan oleh para pejuang sendiri, jika tidak ruang ini akan diperjuangankan oleh “musuh”. Misalnya beberapa serikat buruh yang perjuangannya di Papua berorientasi hanya kepada ekonomi. Dan kita tdk bisa mengintervensi.
Ekonomi Gerakan. Bagaimana semua yang dibicarakan diatas mampu dilakukan ketika secara ekonomi kita semua bergantung dari sumber keuangan diluar organisasi perjuangan. Seperti batuan tidak mengikat dari pendukung gerakan. Kalaupun ada maka sumber keuangan organisasi terkadang lahir karena situasi organisasi.
Banyak organisasi pergerkaan tidak memilki sumber keuangan organisasi secara pasti. Kalaupun diklaim ada, sebenarnya dimiliki oleh para pejuang secara individu nanti dalam pengelolaan dapat memberikan subangsi kepada organisasi dimana dia berada. Kelemahan ekonomi inilah yang menyababkan gerkaan pemuda mahasiswa selama 17 tahun ini tidk berjalan semaksimal mungkin. Cepatlah kita bergegas.
Penutup
Perjuangan pembebasan adalah karakteristik yang umum dan terus dilakukan oleh rakyat tertindas. Telah menjadi rahasia umum pencapaian-pencapaian dari perjuangan di berbagai negara.
Untuk Indonesia kita mengetahui bagaimana proses mereka merebut kemerdekaan. Bahkan itu diketahui sejak berada di sekolah dasar. Tidak ada jalan mulus, mudah, dan gampang-gampang bagi seorang yang mau merdeka harus bekerja keras. Bekerja keras bukan hanya dengan fisik, namun juga mampu secara shikis, intelektual. Itu harus di pahami terus menerus oleh para pejuang kemerdekaan sejatih.
Saya melihat oknum-oknum pejuang dalam setiap organisasi, ada yang telah berada ditingkatan berfikir dan bertindak ini (revolusioner), sehingga seluruh jiwa raga dapat dikorbankan untuk perjuagan ini. Namun menjadi persoalan bagaimana dengan puluhan bahkan ratusan anggota organisasi gerakan, aktivis HAM yang lainnya, apakah melihat perjuangan pembebasan hanya seenaknya dan sekenanya dilakukan. Maka dia mungkin saja akan ikut memperlambat pekerjaan pembebasan karena tidak melakukan semua hasil resolusi dalam keputusan besar organisasi seperti ini (kongres), konferensi, hingga keputusan-keputusan penting lainnnya.
Semoga setiap hambatan-hambatan menjadi evaluasi, proses, serta dialetikan penting dalam perjuangan kemerdekaan kita.
Yason Ngelia
13 September 2018
No comments:
Post a Comment