Monday, April 1, 2019

Sa cuma mo bilang:

Terlalu sering distribusi ide dari pusat-pusat kota, pusat pendidikan, dari pusat-pusat gerakan, tidak selamanya baik dan benar. Patron kepada organisasi gerakan tertentu, patron kepada individu, atau tokoh tertentu itu wajar dan biasa dalam suatu usaha perjuangan.


Tetapi akan bermasalah kalo perspektif pandangan yang ditawarkan selalu dari atas tanpa melihat realitas dari bawah (kondisi ketertindasan yang real).

....Begitu wacana berhenti makan nasi dan kembali makan lokal. yang ada di otak saya adalah bagaimana masyarakat suku Ahyu dan mandobo Boven Digoel, dari sembilan kampung mulai dari Getentirri sampai Meto, dari Anggai sampai Butiptiri bisa kembali ke kehidupan mereka yang ideal, saat mereka terhimpit oleh puluhan perusahaan kayu dan sawit (Korindo, Sawaerma, Bio Inti Agrindo, 7 menara Group).

Gaya hidup mereka telah jauh bergeser. berkebun dan berburu tidak lagi menjawab kebutuhan mereka. sekarang adalah bagaimana kebutuhan akan barang mewah, kebutuhan listrik, pendidikan anak, dan itu dapat dijawab dengan menjual lagi tanah dan menjual tenaga mereka menjadi buruh perusahaan itu. persaingan yang tinggi antara mereka, mereka dengan penduduk migrasi yang bahkan telah melampaui mereka.

Atau, terlalu jauh kah? Masyarakat port Numbay hari ini hanya 4 persen dari populasi penduduk kota Jayapura. 5 bahasa mereka, enggros, tobati, kayu pulau, skouw, nafry terancam punah. di Pasar tanjung ria tahun 2018, tidak ada 1 orang port Numbay, di Yotefa perempuan merek berjualan tanpa alas, hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari. seluruh sumberdaya mereka die gunakan untuk kemajuan kota ini, tanah,laut, sungai, gunung.

bahkan ukuran moderiniasi Papua adalah mereka (Port Numbay)

Saya kemarin mendengar pemimpin adat mereka menyesalkan kenapa nenek moyang mereka memili Jayapura sebagai ibu kota provinsi sehingga mereka terancam punah lebih cepat dari wilayah Papua lain. kenapa ibu kota tidak di Biak kah, atau dimanokwari kah, menurutnya.

Tanah yang mereka lepas untuk pembangunan dan semuanya adalah kebutuhan ekonomi yang terdesak, sekalipun anak asli yang memimpin mereka tidak  diperhatikan. tidak ada satu aturan yang mampu menjamin hidup mereka.

Ahh... Dan anak-anak muda Papua lagi buat "Mop" dengan berhenti makan nasi kembali ke makanan lokal. Pertanyaannya dengan klaim apa? tanah tidak ada, perusahaan semakin banyak. bukankah sebaiknya energi itu dipakai untuk merebut Kembali tanah-tanah itu, baik secara konstitusional atau paksa.

setelah itu mo jadikan padi sebagai bunga lumpur kah, beras menjadi bahan aspal kah itu terserah..

Kamwolker hari ini..

Yason Ngelia

No comments:

Post a Comment