kesejahteraan, maupun pembebasan yang bersifat rohani/mistis. Sehingga seluruh aspirasi, juga doa-doa, bersamaan mungkin dengan pemberian sirih pinang dibawah pohon beringin, berharap diantarkannya pesan hingga ke Ngeri Belanda.
Bagi orang-Papua jaman old itu, cukup melihat wajah ratu di mata uang Golden Belanda saja, sudah meyakinkan mereka tentang janji-janji ratu tanpa harus mengungkapkannya. Cinta mereka kepada Ratu Juliana seperti tanpa syarat, kehadiran Ratu dengan sosok tinggi, putih, itu selalu dilihat dalam wujud pemerintah semi militer nya di Papua. Saya yakin Van Ball, gubernur Papua saat itu merasakan betul bagaiman penghormatan orang Papua kepadanya. Cinta tak sampai ke Juliana maka biarlah kepada Van Ball, mungkin seperti itu.
Pemujaan beberapa orang Papua kepada ratu Belanda semakin tidak rasional ketika situasi politik atas Papua berubah di era 1961-1969. Belanda terlanjur dilihat sebagai negara bersih dengan tujuan mulia membangun Papua, dimana fakta pahitnya adalah telah kalah dalam politik internasional perebutan Irian Barat dengan Indonesia. Orang Papua (sebagian) tetap melihat Belanda memiliki penelong dalam wujud Ratu. Bagi mereka, kepergian serdadu Belanda tidak akan selamanya, suatu saat akan kembali untuk membebaskan Papua dari tangan Indonesia. Sebuah harapan yang tentu saja tidak akan pernah terjadi. Sehingga menjadi cerita kolektif antar generasi, Ratu Juliana dan Belanda menjadi cerita-cerita sangat konspiratif bahkan mistis.
Bahwa disuatu masa, tidak tentu, akan ada pemindatanngankan kekuasaan dari Indonesia kepada Papua, karena telah ada kesepakatan rahasia antara “si ini” dan “si itu”. Sang Ratu akan segera mengunjungi Papua untuk membuktikan itu. Begitulah dan seterusnya. Cerita, konspirasi, yang terjadi diulang-ulang dalam beberapa kelompok masyarakat di Papua.
Orang Papua dengan hati “merah putih biruh” ini tidak pernah mau move on. Bahwa Belanda, tidak akan pernah mau mencampuri lagi persoalan-persoalan Papua. Mereka sendirilah yang harus memutuskan sendiri langkah politik mereka. Begini logikanya, anda mau “bebas” maka berjuang lah, tidak ada orang lain yang akan menolong anda. Namun tidak terjadi, mereka memilih seperti bunglon yang dapat beruba kulit menyesuaikan dimana ruang dan tempat untuk aman. Eforia dan mentalitas inilah dapat dilihat disetiap musim piala dunia digelar, Papua menjadi Nederlend New Guinea selama sebulan penuh.
Keadaan masa lalu seperti ini membuat saya menaruh curiga hari-hari ini. Ketika melihat antusiasme masyarakat Papua setiap kali menyambut Jokowidodo di Papua. Walaupun kedatangannya guna membagikan sertifikat tanah, melihat pembangunan fasilitas dan infrastruktur, memberikan bansos dan segalanya. Hal-hal yang sebenarnya adalah hak orang Papua, siapapun pemimpin, apapun negara nya. Itu adalah hak rakyat sebagai kontributor terbesar kekayaan nasional.
Terbaru tentang Jokowidodo adalah kedatangannya pada Senin 1 April 2019 untuk melihat korban mengungsi paskah banjir bandang 16 Maret 2019. Kunjungan ke sepuluh (mungkin lebih), Jokowidodo dalam dua agenda terselubung yaitu sebagai Presiden sekaligus sebagai calon presiden (capres) dari Sentani lalu melanjutkan kampanye di Sorong. Tidak ada yang bertanya kepadanya, mengapa tidak melihat puluhan ribu pengungsi di Nduga, ulah arogansi nya sebagai pemimpin negara.
Saya berfikir sejenak, mungkin kah mereka-mereka yang “antusiasme melebihi kapasitas” dengan memuji-muji Jokowidodo Presiden Republik Indonesia, diberbagai kesempatan baik offline maupun online, tanpa mempedulikan sejarah, kejahatan kemanusiaan masa lalu Bahkan sekarang di depan mata (Ndunga), eksploitasi SDA Papua dan dampaknya bagi masa depan Papua 10 sampe 20 tahun mendatang.
Saya bilang mungkin ya, kalau tidak ada hubungan darah langsung dengan pengagum "tante"" Juliana di Belanda atau bahkan "tante" Elisabeth di Inggris, di Papua pada masa lampau. Orang Papua ini adalah generasi baru yang terbentuk paskah pembagian rasionalitas dan hati nurani pada awal akhir tahun 1969 lalu mereka tidak hadir.
Ini jelas adalah tudingan saya kepada mereka, bermaksud untuk maunyudutkan mereka, agar sekitarnya dapat segera mengambil rasionalitas dan hati nuraninya di waktu pembagian akan datang. Sehingga mampu menyalurkan hak politik secara bermartabat.
Salam
Yason Ngelia
02 April 2019
No comments:
Post a Comment