dinamikanya. Tinggalkanlah sebentar keriuhan Jakarta tentang
peluncuran sarana transportasi MRT itu, hingga turun-naiknya harga MRT dari tarif awal Rp. 14.000 dipotong sebulan menjadi Rp.7000, hanya untuk menarik para pengguna. Luar biasa. Kalau boleh jujur total harga transportasi murah seperti ini di Papua telah “punah”.
Di Papua pencapaian terbaik mode transportasi 2018/2019, ya itu, yang online-onlien itu (unicorn). Namun demikian mode tranportasi online itu mematok tarif kemahalan, serupa harga transportasi konvensional. Saya bahkan menyesali telah menginstal beberapa aplikasi unicorn di smart phone dengan kuota internet yang juga mahal itu.
Begitulah.
Pengantar ini semoga memberikan sedikit informasi kepada anda, tentang sedikit “keajaiban” di Papua.
Disini kami berusaha untuk bersyukur, dan memakluminya, sambil bergumam dalam hati semoga Tuhan segera meberikan keadilanNya. Minimal dengan membuat harga kebutuhan pokok lebih terjangkau (Lebih cepat, lebih baik..)
Namun transportasi dan sembako tidak akan saya bahas dalam menulis di blog ini, melainkan share dinamika politik Papua menjelang Pemilu serentak 17 April 2019 mendatang. Benar sekali! saya ingin membahas golongan putih (golput) disini, versi Papua tentu saja. Walau, belakangan “ia” lebih dulu ramai di Jakarta, hingga akhirnya mampir juga ke Papua.
Khususnya, semenjak beberapa aktivis mendeklarasi golput di LBH Jakarta, rabu 23 Januari 2019, ada serangan dari para politisi, bahkan cendekiawan dan tokoh agama sekelas Romo Franz Magnis Suseno, tepatnya beliau ikut menyindir golputers dengan pilihan kata yang tidak tepat. Itu menyedihkan? Namun dibalas para golputers dengan kualitas argumentasi yg berbeda, dan tentu lebih baik.
Sebagai seorang simpatisan golputers asal Papua, sekalian saja saya menitipkan pesan kepada Romo. berharap saat beliau memimpin liturgi gereja, ceramah beliau lebih santun dan tidak memaksakan keinginan politik pribadi atau kelompoknya itu kepada umat Tuhan yang tidak “berdosa”.
Yaa itu, tapi biarlah menjadi dinamika “golput” diseberang laut sana, Jakarta.
Masalah Jakarta, hanya akan menjadi masalah nasional kalian. Papua hanya sebuah negri yang lebih jauh dari bulan. Seberapapun Jokowi datang kemari, Papua tetap begitu-begitu saja “harga barang pokok mahal dengan nyawa manusia yang terbilang lebih murah”.
Nyawa manusia di Papua sedang mengalami diskon terbaik saat ini. Anda mungkin tidak akan percaya. Jika iya? Saya menganjurkan segera saja Googling usai membaca ini.
Saksikanlah, seberapa besar dampak operasi militer di Ndunga hari ini. Puluhan ribu orang mengungsi dan kelaparan, kebanyakan dari mereka yang meninggal adalah perempuan dewasa dan anak-anak.
Bayangkanlah, bagaimana akses kesehatan dan pendidikan untuk mereka yang bertahan hidup saat ini?
Sehingga menjelang Pemilu serentak, memilih presiden (pilpres) dan legislatif (Pileg) di 17 April 2019, telah tersebar seruan-seruan oleh kelompok aktivis HAM dan Demokrasi Papua. Untuk mengajak rakyat Papua tidak memilih, dengan Boikot. caranya dengan tidak ke TPS pada 17 April mendatang.
Upaya itu telah mereka lakukan dalam berbagai bentuk dan kesempatan, baik secara individu hingga organsiasi. Media Sosial (Medos) menjadi tempat paling efektif untuk menyebarkan info golput, hingga anti pemilu. Diikuti konsolidasi dibeberapa titik basis rakyat secara terutup.
Inti dari seruan golput mereka adalah ketidakpuasan para aktivis terhadap negara dan kebijakan para pemimpin negara serta aparaturnya, kapada rakyat dan alam Papua selama ini.
Sejarah politik masalah lalu, PEPERA 1969, yang oleh lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) diyakini sebagai satu akar masalah Papua, menjadi materi inti golput oleh aktivis, walau sebenarnya tidak banyak mempengaruhi rakyat karena adalah “generasi buta sejarah”.
Argumentasi kuat dan relevan adalah kegagalan kepemimpinan calon presiden (juga petahana), tentang pelangaran HAM yang tidak diikuti upaya penegakan HAM secara tuntas di Papua.
Itu menjadi materi utama dalam menarik simpati rakyat Papua untuk golput.
Bagi para aktivis Papua, tidak ada satu pemimpin di republik Indonesia yang bersih dan bebas dari pertanggungjawaban HAM di Papua, karena tidak dapat begitu saja lepas dari politik masa lalu dan pelanggaran HAM, karena dilakukan militer (TNI/POLRI tentu saja) sepengetahuan setiap pemimpin negara ini.
Sehingga seharusnya tidak beralasan bagi rakyat Papua untuk ikut memilih dalam pesta demokrasi 17 April 2019 mendatang.
Biarkan penduduk migran (non Papua) yang jumlahnya setengah dari penduduk asli Papua, memilih kepala negara mereka, anggota parlemen mereka, tetapi rakyat Papua harus melakukan pembangkangan politik secara damai yaitu tidak ke TPS dan memilih. Atau sebagai solidaritas, warga non Papua juga ikut tidak memilih.
Namun itupun sulit terjadi. Golput di Papua selalu memiliki kendala, yaitu kesadaran mayoritas seluruh rakyat (Papua dan non Papua), yang lebih mudah di perdaya menjelang pemilu.
Saya membadingkan pemilu dengan pemilu serentak 2014 silam untuk memilih presiden bersamaan dengan anggota legislatif, dimana setahun setelah 2015 adalah pemilihan serentak kepala daerah. Para aktivis ini juga gencar melakukan di masa kampanye. Namun ada saling saling conter opini, propaganda, bahkan saling mencaci di media sosial pun tidak terhindarkan.
Para elit politik pro pemerintah (negara), elit partai politik partai, tim sukses, yang merasa kepentingan mereka terancam dengan wacana golput, ikut mendorong oponi, pentingnya pemilu bagi rakyat Papua. Mereka berharap suara rakyat dapat membawah mereka menjabat, atau sekedar untuk promosi dihadapan petinggi partai politik di Jakarta.
Janji-janji politik yang sama terus dilakukan oleh para oportunis penjilat*at ini, dan rakyat di Papua tetap mempercainya.
Harapan para aktivis Ham dan Demokrasi di Papua adalah bahwa rakyat berhenti melegitmiasi negara, yang terang-terangan melakukan pelanggaran HAM, dalam berbagai bentuk serta tingkatannya, eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) tanpa memikirkan masa depan mereka (Rakyat)
Kesadaran rakyat akan persoalan dan dampak-dampak kebijakan pembangunan inilah yang diharapkan mensukseskan gerakan golput di Papua. Namun sayang, itu belum pernah terjadi.
Fakta politik adalah, pada pemilu 2014 dan 2016 Rakyat Papua selalu dengan mudah dimobilisasi ketempat-tempat pemungutan suara (TPS), sebagian mampu dibayar (money politic) untuk memberikan hak pilih kepada presiden dan kepada calon-calon wakil rakyat yang akan duduk di parlemen. Jokowi bahkan unggul 80 persen suara di seluruh Papua. Walau 2 jutaan suara Papua, hanya satu persen dari penduduk Indonesia.
Saya memiliki anggapan bahwa baik para aktivis maupun rakyat Papua tengah berhadapan dengan suatu dilemah pada setiap momentum pemilihan Umum Pilpres maupun Pileg itu. Suatu sisi para aktivis berupaya meyakini rakyat setiap menjelang pemilu, dengan berusaha mengungkit-ungkit sejarah masalah lalu yang tidak terlalu populer untuk membangun kesadaran Golput.
Disisi lainya Pilpres selalu bersamaan dengan Pileg. Para elit partai politik yang kebanyakan dari mereka adalah orang-orang Papua sendiri, bagian dari suku tertentu, memilki kapasitas dalam masyarakat adat, keluarga sendiri, bahkan rekan-rekan aktivis, membuat wacanagolput pada pemilu di Papua lema dan tidak berdaya.
Hal-hal seperti ini akan terus terjadi, berulang kali hingga kapanpun. Kualitas golput rakyat Papua terhadap pemilu tidak akan pernah meningkat. Faktor penting lain adalah, golput di Papua masih sebatas wacana dan dilakukan secara sporadis, dengan berharap hasil yang maksimal.
Sehingga wacana golput di Papua hingga 2019 ini masih tetap “alakadarnya”
Yason Ngelia
No comments:
Post a Comment