Sunday, May 3, 2020

Mengugat Pengacara HAM Yan Waranussi atas Kriminalisasi aktivis ditengah Wabah Corona di Papua

Sebagai seorang pengacara Hak Asasi Manusia (HAM) terkemuka di Papua Yan Cristian Waranussi seharusnya tidak menerima tawaran Gubernur Provinsi (Prov) Papua Barat Dominggus Mandacan untuk menjadi kuasa hukumnya menjerat seorang aktivis mahasiswa bernama Alforiani Reba dengan Undang-undang yang terkenal kontroversi selama ini, yaitu undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) No 11 Tahun 2008, di Polisi Daerah (Polda) Papua Barat tertanggal 8 April 2020.


Lebih lagi latar belakang status media sosial aktivis muda itu berkaitan dengan tanggungjawab utama pemerintah terhadap HAM itu sendiri, yaitu melindungi, memenuhi dan menghormati HAM warga negara. Artinya, Pemerintah bertangjawab atas setiap kebijakan untuk menjamin hak warga negara sesuai ratifikasi terhadap hak sipil maupun hak ekosob seperti selama ini yang diperjuangkan Yan di Lembaga Pengkajian Penelitian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) di Manokwari.

Secara khusus hak terhadap perlindungan dari Covid-19 di Prov. Papua Barat. Gubernur Papua Barat diminta segera melakukan pembatasan sosial (Social Distancing) seperti yang  lebih dulu dilakukan oleh Lukas Enembe Gubernur Prov. Papua, sejak Jumat 27 Maret 2020.
Tugas gubernur sebagai pemerintah daerah telah diatur sesuai dengan undang-undang pemerintahan daerah NO 23 Tahun 2014, dan secara khusus dalam UU N 36 tahun 2009 pasal 152 ayat (1), peran pemda dalam menghadapi penyakit menular dan juga undangan-undangan hak asasi manusia No 39 Tahun 2009 adalah memberikan perlindungan sebaiknya terhadap pelaksanaan kehidupan seluruh warga negaranya. Kebijakan kongkrit sebagai upaya menangani Covid-19 tersebutah yang dinantikan oleh warga Prov. Papua Barat yang terancam Virus mematikan ini.

Apalagi kekuatiran akan kematian massal di seluruh Tanah Papua ini telah terus-menerus disuarakan masyarakat di kedua Provinsi, sehingga mendorong Pemerintah Prov. Papua dan kabupaten (kab) kota di seluruh Tanah Papua melaksanakan pembatasan sosial. Seperti Kab. Jayawijaya, Kota Jayapura, Kab. Jayapura, Kab. Nabire, Kab. Paniai,  bahkan juga wilayah kabupaten dan kota diwilayah administrasi Prov. Papua Barat yang tidak mengindahkan instruksi Gubernur Dominggus Mandacan agar tidak mengambil kebijakan pembatasan sosial, seperti Kota Sorong, kab. Sorong Selatan, Kab. Maybrat, hingga Kab. Fak-fak.

Aspirasi yang disuarakan masyarakat Papua kepada pemerintah mereka itu mengunakan beberapa cara, mulai dari media sosial baik dengan bahasa yang santun bahkan caci makian. Warga juga melakukan demonstrasi-demonstrasi seperti Jayapura, Yahukimo, hingga di Sorong, hingga melakukan pemalangan jalan utama menuju kabupaten mereka Seperti di kabupaten Maybrat.

Menarik dan perlu di apresiasi disini adalah, dari semua aksi-aksi tersebut tidak ada satupun tindakan represif bahkan penangkapan pihak  kepolisian kepada warga, bahkan juga berbagai status keras di media sosial, hingga penutupan wilayah  secara sepihak.

Tindakan itu sangat penting diambil karena kondisi infrakstruktur dan tenaga medis di Papua yang sengat terbatas. Juru Bicara Covid-19 di Prov. Papua Silwanus Sumule mengaku diberbagai media lokal, bahwa Papua tidak siap secara medis untuk menangani lonjakan pasien jika tidak segera dilakukan pembatasan sosial. Pengakuannya bahwa jumlah dokter spesialis paruh diseluruh Prov. Papua hanya ada tujuh orang sedangkan fasilitas diseluruh rumah sakit hanya ada 200 ruangan dimana itu sesuai standar Organisasi Kesehatan dunia (WHO). Sehingga mengusulkan kepada masyarakat luas untuk membatasi tujuan mereka ke Papua saat pandemi ini.

Sebagai Provinsi induk Prov. Papua adalah tolak ukur pembangunan Papua barat secara keseluruhan sehingga seorang aktivis muda yang turut menyampaikan suara-suara kekuatirannya untuk segera dilakukan pembatasan sosial dan ditujukan kepada seorang gubernur sebagai pemegang mandat satu-satunya di Papua barat agar segera mengambil langkah kongkrit keselamatan warganya dari Covid-19 atau Corona ini. Dengan tujuan itulah aktivis muda ini dilaporkan dan kini akan diproses secara hukum.

Mengutip status media sosial milik terlapor yang sesal dengan kebijakan Pemerintah Pusat Melalui Mentri dalam negri yang menolak diberlakukannya pembatasan sosial di Papua dan Gubernur Dominggus Mandacan yang melarang adanya pembatasan sosial oleh beberapa kabupaten kota di wilayah administrasinya, untuk kita telah bersama. Seperti ini;
 “Rakyat Papua barat bukan ko (kau) pu (punya) kelinci percobaan. Manusia rakus jabatan dan Harta. Korbankan rakyat dengan sesuap nasi, memalukan”.

“Untuk Kota Sorong besok akan ada aksi dihalaman kantor wali kota Sorong. Mulai pukul 9 pagi sampai selesai, kam datang supaya tong pukul PEMDA dong pu otak yang tra waras macam gubernur Papua Barat dan Tito Karnavian....”dll
Status dimedia sosial milikinya sampai dengan tanggal 20 April 2020 disukai hanya 42 orang, dibagikan tiga orang dengan komentar hanya enam orang.

Kita menjabarkan maksud dan tujuan setiap kalimatnya tersebut sejahtinya aktivis muda ini mengharapkan langka cepat pemerintah daerah Papua Barat sebagai pemegang mandat pemerintah ditingat daerah. Sehingga tidak ditujukan secara personal untuk Dominggus Mandacan.

Bahwa berikutnya adalah tuduhan untuk “sesuap nasi” adalah sebuah kata tegas aktivis muda ini untuk menjelaskan tentang kepentingan bisnis yang menjadi alasan tidak diambilnya langka pembatasan sosial. Itu adalah rahasia umum di Papua bahkan di Indonesia hari ini. Sebagai pengacara HAM Yan C. Waranussi telah paham bagaimana relasi bisnis dan kekuasaan sangat mungkin terjadi dalam kebijakan pemimpin daerah di Papua, termasuk dengan lambannya pemerintah Jokowi di Jakarta dalam menghadapi Corona.

Terlapor adalah seorang aktivis perempuan  yang mengkuatirkan nasib dirinya dan seluruh rakyat Papua yang notaben secara kuantitas adalah minioritas di Indonesia. Sebagai generasi muda yang sedang belajar di kampus, gelora aktivismenya, melakukan berbagai demosntrasi bersama rekan-rekan nya di Sorong Papua Barat. Buah dari kritik dan aksi-aksi itu, Wali Kota Sorong lamber Jitmau memutuskan memberlakukan karantina wilayah dengan ikut menutup penerbangan pesawat penumpang dan pelabuhan bagi kapal laut sejak 30 Maret sampai dengan 10 April 2020. Sikap itu juga karena sebelumnya Kota Sorong memilki dua orang warga positif covid-19 dan satu dilaporkan meninggal dunia .

Siapakah yang tidak marah dengan lambatnya sikap pemerintah daerah Papua Barat. Terlapor meluapkan emosi karena ancaman kematian massal di depan mata  namun tidak nampak tindakan pencegahan yang berarti di Papua Barat.
Sebagai seorang pengacara HAM terkemuka di Papua barat Yan C. Waranussi seharusnya sudah mengetahui bahwa kematian yang disengaja karena pengabaian, atau pemerintah memilih untuk tidak mengambil kebijakan apapun adalah pelanggaran atas HAM warga Papua. Tugas negara dalam hal ini pemerintah Prov. Papua Barat adalah melindungi, memenuhi, dan menghormati dengan mencegah meluas wabah virus bahkan mencegah kematian warganya.

Sedang tugas Yan C. Waranussi sebagai pengaca HAM di Papua adalah mengugat pemerintah Prov. Papua Barat karena telah melanggar HAM warga Papua bukan mengejar seorang aktivis mahasiswa untuk ditangkap dan dipenjarahkan.

Sangat disesalkan pembelaan Yan C Waranussi di media sosial what up (WA) yang selanjutnya dimuat di Suarapapua.com yang membuat kesan bahwa undang-undang HAM No 39 Tahun 1999 pasal 7 menjamin seorang individu untuk mendapat jaminan secara hukum tanpa diskriminasi dengan tanpa melihat subtansi persoalan dan kritik-kritik itu ditujukan kepada Dominggus Mandacan yang adalah seorang Gubernur Papua Barat.

Sebagai seorang pengacara HAM senior, dengan kipra yang telah diakui secara nasional bahkan internasional tentang kerja-kerja  di Papua telah dicederai sendiri oleh Yan C. Waranussi dengan memihak kekuasaan dan turut membungkam kritik-kritik keras kepada mereka.
 ***

Yason Ngelia
16 April 2020

No comments:

Post a Comment