Wednesday, April 29, 2020

Memahami “Bangsa” dalam Imagined Communities (Pengantar)


Saya membeli buku ini dua tahun yang lalu namun baru dapat membaca hingga selesai pada seminggu ini (April 2020). Buku ini adalah karya Benedict Anderson (BA) berjudul Imagined Communities (komonitas-komonitas terbayang) sebuah buku yang sejatihnya sudah sangat lama saya dengar pada berbagai kesempatan, lebih lagi terkait sebuah gagasan tentang bentuk “nasionalisme dan bangsa”. Dimana Hal itu telah menjadi satu isu yang akan terus dibicarakan dibawah kolong langit Papua.


Sejak diluncurkan pada 2001 buku ini telah menjadi rujukan dalam berbagai diskusi formal maupun informal terkait dengan pembahasan akan kebangsaaan dan nasionalisme yang secara teoritik masih terus diperdebatkan para ahli teori sosial, baik dikalangan akademisi maupun kalangan gerakan kiri revolusioner di Indonesia. DI Papua saya pikir juga telah dimulai, walaupun tidak secara langsung memperdebatkan apa itu nasionalisme dan “bangsa Papua” tetapi dari karya-karya besar yang pernah ditulis oleh intelektual Papua saya pikir adalah usaha memperkaya literasi mapun pencarian dari “bangsa” Papua itu sendiri.

Seperti yang selama ini berkembang dan telah dianggap sebagai sebuah pembenaran bersama seperti “nasionalisme Papua”, “Bangsa Papua”, “suku bangsa Papua”, maupun “ideologi Papua merdeka” yang tercipta dari istilah-istilah yang bahkan kita sendiri tidak memahami latar belakang terbentuknya istilah (slogan) itu. Sehingga perlu kita pahami dalam bacaan Imagined Communities ini.

Banyak sekali kawan-kawan di Papua maupun diluar Papua yang saya temui dalam beberapa kesepatan diskusi selalu menyinggung soal argumentasi BA soal “bangsa”. Kebanyakan dari mereka mengabarkan sesuatu yang bagi saya abtrac, tentang isi buku dan pikiran secara garis besar. Itu membuat saya tidak puas, apalagi kutipan-kutipan dalam duskusi hanya menyampaiakn satu atau dua kaliamat BA yang sulit dipahami, lalu soalah mengklaim secara keseluruhan gagasannya, yang bagi saya (mungkin) belum tentu seperti isi bukunya.

Banyak juga yang saya temui soal rsesnsi buku nya di baik di blog-blog, maupun website berbagai organisasi gerakan, itu membantu apalagi bagi yang tidak memilki buku namun ingin mengetahui garis besar pikiran BA. Saya beruntung, walaupun membeli dengan harga Papua yang cukup mahal sudah membaca dan memhami pemikiran penulis langsung.  Paling penting itu apakah ada keterkaitannya dengan  Papua, apakah penulis juga menulis Papua, jika ia, bagaimana dia melihat Papua, memahami Papua sejauh, mari kita mencari tau isi buku ini.

**
Kita mulai, Ini bagian dari sebuah review buku, jadi saya lampirkan keterangan ini; Buku ini ditulis oleh Sejarawan dan Pakar politik bernama Benedict Anderson berjudul Imagined Communities (Komonitas-komonitas terbayang), diterbitkan dalam versi bahasa Indonesia pada 2001 oleh Penerbit INSIST Blimbing Sari CT IV/38 Yogyakarta. Sudah dicetak sebayak tiga kali seja 2001, yang ditangan saya adalah cetakan ke III, 2008.

Buku ini terdiri dari dari 11 Bab antara lain, Bab (1) pendahuluan, Bab (2) akar-akar Budaya, Bab (3) Asal muasal kesadaran nasional, Bab (4) Para perintis Kreol, bab (5) Bahasa-bahasa lama model-model baru, Bab (6) Nasionalisme Resmi dan Imperialisme, Bab (7) Gelombang Terakhir, Bab (8) Patriotisme dan rasisme, Bab (9) Malaikat sejarah, Bab (10) Cacah Jiwa peta dan museum, Bab (11) mengingat dan melupakan ruang baru dan lama.

Secara umum setiap bab ini saling terhubung sehingga saya usulkan untuk bagi para pembaca buku ini, untuk tidak melompati setiap bagian (Bab) ketika mau mengetahui secara keseluruhan jalan pikiran dan isi buku. Saya misalnya, karena sering mendengar tentang BA dan defenisi bangsa yang dia buat jadi saya ngotot membaca setiap Bab dan memberikan tanda sebagai pengingat. Tetapi bagi kalian yang merasa tertarik hanya pada setiap judul (bab) tertentu silahkan itu hak, tetapi akan sangat disayangkan, karena keseluruhan pembahasan saling kait mengkait. Kesimpulan tentang nasionalisme dan kebangsaan dapat kita pahami baik ketika membaca setiap bab dengan tuntas.

Pendekatan penulisan ini adalah pendakatan sejarah (historis) yang sangat baik, sehingga setiap perubahan sosial politik manusia dalam sebuah momentum-momentum besar dapat kita ketahui, seperti misalnya perang antara negara, ekspanksi penduduk antar benua yang memiliki dampak langsung terhadap pembangunan bangsa, mempengaruhi bahasa-bahasa daerah, eksisitensi bahasa latin yang akhirnya bergeser oleh bahasa-bahasa ibu dari suku-suku (kini kita kenal sebagai bahasa nasional negara), kapitalisme cetak yang nyatanya memiliki peran mendorong eksistensi bahasa ibu yang lalu menjadi kekuatan politik yang diklaim sebagai satu bangsa, yang oleh BA disebut sebagai “komonitas terbayang”.

Paling peting menurut saya adalah penulis membandingkan bagaimana dampak-dampak dari perkembangan kapitalisme dan sosialisme. Ada kritik-kritik terhadap pemikiran Karl Marx (padangan marxisme secara umum) soal perkembangan kapitalisme yang selalu berdampak buruk dalam kehidpan sosial dan politik manusia sejak kemunculannya, penulis berupaya untuk membantah gagasan klasik Marxisme itu dengan fakta-fakta yang sebaliknya. Penulis tidak mengatakan bahwa kapitalisme itu baik atau buruk sebaliknya penulis menampilkan kedua sisi secara bersamaan.

Sehingg jika kita mau mempelajari perkembangan dunia dengan sangat berbeda, dari sudut pandangan politik dan argumentatif, buku ini sangatlah tepat. Semua bagian penting dalam mendukung tesis dia tentang nasionalisme dan kebangsaan itu tidak luput dalam pembahahasannya. Runtuhnya eksistensi bahasa latin di dunia yang di pertahankan oleh gereja kahtolik, selama ini menjadi bahasa para bangsawan dan terbatas, bergeser menjadi bahasa ibu seperti Jerman misanya. Dengan dukungan kapitalisme cetak, bahasa jerman menjadi sangat populer apalagi dimasa seorang Marthen Luther King melakukan gugatan kepada gereja Kahtolik. Atau, Ekspansi bangsa kujliat putih eropa ke wilayah-wilayah koloni, atau tujuan koloni seperti Amerika, afrika, menjadi pemicu tumbuhnya nasionalisme dan bangsa dalam konteks yang lebih modern, tidak terbatas pada komonitas tardisional, etnis, dan ras.

Indonesia tidak luput dari pembahasan, tentang sejarah kolonialismenya dan kebangkitan angkatan muda nasionalis dan klaim akan bahasa melayu sebagai bahasa nasional, hingga sikap dan perilaku Indonesia yang sudah merdeka tahapan Papua Barat (Papua). Spesifik tentang Papua menjadi beberapa pembahasan sekitar 3 halaman buku ini yang lebih kepada menjelaskan kemiripan sejarah kolonialisme, ekspansi, stigmatisasi, yang diberlakukan indonesia ke Papua seperti yang pernah mereka terima selama pendudukan Belanda.

Pengantar Pembahasan

Kita mulai, misalnya pada bab (1) Pendahuluan, disana BA menuangkan argumetntasi-argumentasi penting yang kemudian dipakai sebagai sebuah hipotesis tentang nasionalisme dan bangsa yang kemudian diuraikan secara historis pada bagian selanjutnya (Bab lainnya). Sehingga jika membaca bab satu saja kita hanya akan mendapat hipotesis sebuar karya penting ini tetapi muatan dari sebuah hipotesis yang jauh lebih penting mungkin tidak akan kita pahami.

Misalnya keraguan-keraguan penulis soal bangsa (nation) dan nasionalisme atau paham kebangsaan yang menurut dia sulit diukur. Dia mengatakan Nasion atau bangsa, nasioalinalitas atau kebangsaan, nasionalisme atau paham kebangsaan- semuanya sulit skali dirumuskan, lebih-lebih diurakan. Sehingga hipotesis atau sebuah jawaban yang ditemukan dalam buku ini atau yang sering diulang-ulang oleh para ilmuan diluar sana, atau aktivis, para kawan diluar sana sekalipun belum benar-benar dapat dipegang.

Banyak sekali para ilmuan sosial yang membaha Nasionalisme menjadi kutipan Penulis dalam pembahansanya, sepertin Hugh Seton Watson, penulis risalah tentang nasionalisme, yang menurutnya masih menjadi bacaan terbaik dan lengkap. Bahwa tidak ada satupun “rumusan ilmiah” apapun yang dirancang bagi satu bangsa, apalagi fenomena (bangsa) ini pernah bahkan masih ada.

Sasaran buku ini menurut penulis pada bagian pendahuluan itu, untuk menawarkan penapsiran-penapsiran yang memuaskan tentang  yang dia sebut sebagai anomali (keanehan) nasionalisme. Kedua teori baik liberal maupun marxis sama-sama dalam upaya untuk penyelamatan fenomena. Seperti yang saya sebutkan diatas bahwa ada argumentasi objektif tentang kedua kubuh teori sosial liberal maupun marxisme ini semakin baik dalam membentuk cara pendang kita di era sekarang.

Kebingungan para ilmuan tentang konsep bangsa selama ini menurut BA adalah karena terjadi paradoks  yaitu, (1) Moderenitas Objektik bangsa-bangsa di mata para sejararawan vs Kepurbaan subjektif dimata para nasionalis, (2) Universalitas formal kebangsaan sebagai satu konsep sosiol kultural, setiap orang akan punya gagasan kebangsaan tersendiri, sesuatu yang menurutnya sama mendasar seperti jenis kelami bagi setiap manusia vs kebangsaan yang dikonsepkan berdasarkan defenisi kebangsaan Yunani bersifat sue Genis atau bersifat mutlak, (3) daya politis nasionalisme vs kemelaratan filosofis, karena menurutnya nasioalisme tidak memilki tokoh-tokoh pemikirannya sendiri. Yang dia maksud adalah seperti tokoh/ilmuah sosial seperti, Max Weber, Karl Marx, Aguste Comte, dan sebagainya.

Menurut BA, yang parahnya bahwa orang kebanyakan menaruh nasionalisme sebagai suatu ideologi, yang baginya adalah kekeliruan. Dia mengusulkan dalam Bab I sebagai hipotesis adalah: Bangsa atau nation adalah komonitas politis dan dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren (tidak terpisahkan) sekaligus berkedaulatan. Baginya bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa sekecil sekalipun tidak saling mengenal satu dengan yang lain tetapi yang dipahami dari mereka adalah tentang kebersamaan mereka.
Menarik dari pemikiran BA adalah dia menegaskan pemikirannya tentang “bangsa” dengan pemikiran ilmuan sosial lainnya, seperti Ernest Geller yang mengatakahkan bahwa nasionalisme bukan bangkitnya kesadaran diri suatu bangsa; nasionalisme membikin-bikin bangsa-bangsa dimana mereka tidak ada. Dari perkataan Ernest Geller ini ditangkap BA sebagai memalsukan bangsa oleh kesadaran nasionalisme.

Kiritik BA kepada Ernest justru karena dia menganggap bahwa ada komonitas asli (premordialisme/kesukuaan) yang dapat digolong menjadi bangsa, menurutnya dalam kenyataan bahwa bahwa setiap komonitas asalkan lebih besar dari dusun-dususn promordial dimana setiap komonitas bisa saling bertatapan adalah komonitas terbayang bukan bangsa. Pembedaan antara komonitas harus dilakukan bukan berdasarkan kepalsuannya, menurutnya.

Jadi kesimpulan dari pengantar ini, dan akan kami mengali terus dari penjelasan-penjelasan BA, bahwa bangsa itu bahkan tidak terbatas pada suku, bahasa, tidak lagi tergantung dengan komonitas yang kecil dan saling mengenal maupun komonitas besar dengan milyaran jumlahnya tidak saling mengenal, tetapi lebih kepada bagaimana membayangkan komonitas bangsa secara bersama-sama, dengan keinginan bersama, adanya kesettiakawanan yang mendalam dan melebar sebagai sesama manusia, bahkan lintas suku bangsa dan agama.

(Bersambung...)


**
Yason Ngelia
29 April 2020

No comments:

Post a Comment