Saturday, May 14, 2016

MENGENAL PAHLAWAN AGRARIA DI TANAH PASUNDAN


Siang telah berlalu, terik mentari telah berubah sejuk, ditutupi awan oleh hembusan angin. Jalan yang berliku-liku, tebing yang curam, hanya dipagari pepohonan, sangatlah indah, namun terkadang menjadi menakutkan, ketika laju mobil berada persis pada setiap belokan jalan.
Sekitar terlihat bukit-bukit hijau mempesona, dihiasi pemetahan sawah yang tersusun berderap-derap. Padi telah menghijauh, dijaga orang-orangan setianya. Semakin jauh mata memandang, terlihat gunung-gunung yang membiru,mulai menghitam,
menyatu dengan langit sore, semakin menyempurnakan keindahan alam disana.
Tasikmalaya bumi pasundan, bumi pajajaran, telah membuat saya terkenang jauh disana, pada Kota Numbay, di negri burung cenderawasih. Bukit-bukit mu, gugung-gunung mu yang mencakar ke lagit membiru. Likuk perjalanan, membuatku terkenang terbayang jauh disana.
Akhirnya hilanglah lamunan itu. Karena getaran telepon gengam, dibalik saku celana pendek bercorak Army, yang saya kenakan. Mengisyaratkan, ada sebuah pesan teks. Saya membaca, “hallo, pa, kalau sudah di dalam Kota Tasik, beritahu nanti, kami jemput. “Baik akan saya beritahu” saya membalas pesan tersebut.
Tidaklah sampai sejam, saya menyambung pesan teks itu, “saya sudah memasuki kota Tasikmalaya, bro akan menjemput saya dimana?”. Ada telfon masuk, dan kelihatanya nomor yang sama yang menghubungi saya via pesan teks. Hallo, saya menyapa. “Hallo juga, maaf bapak kalau saya boleh tahu sudah dijalan mana ya?”. Suara seorang wanita dengan dialek sunda, yang jelas dapat ditebak.
 Sebab dialek sunda bukan dialek yang asing. Karena dialek ini selalu dicampur adukan pada setiap momen acara di televisi-televisi nasional. Sehinngga setiap orang di negra ini, yang memilki benda elektronik audio visual itu pasti akrab dengan dialek itu.
Terlebih lagi di populerkan sendri oleh artis-artis asal Sunda, Seperti salah satu penyanyi  pop, bernama Syarini. Atau Ustad kondang AA Gym, Hingga pelawak-pelawak senior seperti Parto, Sule, Azis, Nunung, yang  hampir setiap hari menghiasi layar kaca tv nasional.
Satu lagi keunikan dari Orang Sunda, yaitu mereka tidak pernah mau disebut sebagai orang Jawa, Bagi mereka Sunda bukanlah Jawa. Berbedah dengan kita di Papua dari sorong sampai Merauke, dari Jayapura sampai Wamena hingga ke Fak-Fak, juga Bintuni, kita menyebutkan dengan bangga yaitu Papua. Bahkan hingga ke negara tetangga Papua New Guinea (PNG) disebut sebagai kesatuan suku Bangsa Papua.
Orang Sunda, sebaliknya, tidak pernah mengakui hal itu, bahwa Sunda adalah bagian dari suku bangsa Jawa. Bagi sebagian mereka, yang menjadi Orang Jawa adalah masyarakat yang pada masa kerajaan kuno, berada dibawah taklukan Kerajaan Majapahit.
Sedangkan Jawa Barat dimana penyebaran Orang Sunda berada, tidakah takluk di bawah Kerajaan Majapahit, melainkan Kerajaan Pajajaran. Satu-satunya kerajaan diwilayah Jawa yang tidak takluk kepada majapahit.
Kerajaan Pajajaran punya kaitan erat dengan kerajaan-kerajaan sebelumnya di Jawa Barat, yakni Kerajaan Tarumanagara, Kerajaan Sunda, Kerajaan Galuh, dan Kawali. Pemerintahan Kerajaan Pajajaran merupakan kelanjutan dari kerajaan-kerajaan tersebut.
Kini orang Sunda yang secara administratif pemerintah, berada di Kabupaten Bogor, Bandung, pangandaran, Ciamis,Garut, hingga Tasikmalaya, dan mengakui bahwa mereka bukanlah orang Jawa. Begitulah hingga sekarang.
Mengambil telepon genganm saya menghubingi kembali wanita yang telah berjanji akan menjemput setibaya di Kota Tasikmalaya. “Hallo selamat sore mba saya sudah berada di jalan Martadinata, sekretariat SPP dimana ya?”. Dari seberang telfon dia menjawab “tunggu saja bapak nanti kami jemput”. “baik saya menunggu disini”.
Beberapa saat motor bebek jenis supra memarkir tepat disebelah mobil yang saya tumpangi. Terlihat seorang wanita mudah memakai kerundung berwarna putih, kerudung dilingkarkan menutupi rambut hingga lehernya, tidak terlihat seperti hijap, yang biasanya dikenakan wanita muslim, namun dia terkesan santun.
Haii, bapak, saya Erni, perkenalkan ini kawan SPP tasik juga, dia sambil mengenalkan seorang pemuda yang bersamanya. Saya menyapa dan memyalami tangannya keduanya, aktivis itu. “hai bro”, saya menyapa pemuda itu, diapun membalasnya dengan senyum. Erni lanjut berbicara “Bapak bilangin mobil ikuti motor kami, kita ke penginapan menaruh barang terlebih dahulu, lalu ke sekretariat SPP”. “ok, baik mba” jawab saya.
Beberapa saat kemudian kami tiba disebuah penginapan bernama “Merdeka”. Setelah Erni memesan kamar dan menunjukannya, dia mengatakan akan kembali sejam kemudian. Tepat sejam dia telah datang dengan beberapa orang pemuda. Saling berjabah tangan saya diminta bersama mereka, menuju secretariat SPP, untuk berkenalan dengan semua aktivis SPP disana.
Serikat Petani Pasundan
Akhirnya saya pun tiba di sekretariat Serikat Petani Pasundan (SPP) Tasikmalaya, saya diarahkan masuk dalam rumah tradisional, yang terpampang dengan nama Sanggar Pasundan. Didalamnya telah hadir 20-an pemuda yang terlihat seusia dengan saya, juga ada beberapa yang lebih tua. Kamipun saling menyapa dan memperkenalkan diri.
Mereka yang sudah mengetahui maksud dan tujuan kedatangan saya, menunjuk Erni untuk menjelaskan keadaan penduduk di kampung tujuan saya. Setelah itu barulah saya mengetahui bahwa wanita yang bernama Erni ini, adalah wakil ketua Harian dari SPP Tasikmalaya.
SPP sendiri adalah organisasi gerakan masyarakat yang terbesar di Jawa Barat, karena berada di tiga kabupaten, antara lain, Garut,Tasikmalaya, dan Ciamis. Basis anggota SPP adalah petani-petani di kampung-kampung. Salah satu kampung di Taskimalaya bernama Cieceng adalah kampung tujuan saya.
Dalam penjelasanya, sejarah kelahiran SPP berbeda-beda pada setiap kabupaten. Berdasarkan permasalahan yang terjadi diwilayah di kampung-kampung.
Misalnya saja pada tahun 1998 di Garut, kemunculan SPP didahului kasus korupsi Kepala Desa Sarimurti. Jatah Berasa gratis oleh orang miskin (raskin) diselewengkan kepala Desa, dengan menjualnya ke luar desa. Beberapa tokoh masyarakat kampung Sarimurti datang ke kantor Forum Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Garut (FPPMG), yang diketahui oleh seorang warga desa. Dengan bantuan FPPMG, dilakukanlah demosntrasi besar-besaran (25 truck datang dari desa) ke kantor kejaksaan Garut, menuntut dilakuknya penyelidikan atas dugaan penyelewengan  tersebut.
Diskusi-diskusi terus berkembang setelahnya, diketahui bahwa sebagian penduduk adalah petani, dan mengarap lahan yang dikuasai PT Perhutani. Para penggarap hidupnya terjerat hutan pemodal. Dengan pertemuan rutin yang terus dilakukan dengan FPPMG, petani berani melakukan aksi-aksi lokal. Mereka menolak membayar upeti ke Perhutani, menolak bekerja kepada tuan tanah dan mengarap lahan eks-eparcht seluas 350 ha. Hubungan antara masyarakat kampung dengan mahasiswa terus terjalin sehingga  terjadinya pengorganisasian. Disanalah benih SPP pada awalnya.
Sama hal yang terjadi di Cibenda- Ciamis. Tahun 1992, sebagain warga mengarap di Blok Buak Laut Desa Cibenda Kecamatan Parigi Kabupaten  Ciamis kehillangan lahan garapan, karena tanahnya disertifikasi oleh pemerintah untuk pengusaha dan beberapa oknum pejabat kabupaten Ciamis. Pada tahun 1993, lahan diubah menjadi tambak udang. Hal itu mengakibatkan mereka terusir dari tanah itu.
Pada tahun 1998 setelah jatuhnya Soeharto, seorang mahasiswa dari Cibenda mempelopori gerakan. Dia sebelumnya bertemu dengan aktivis mahasiswa yang lebih senior, yakni Agustiana. Agustiana yang kini adalah Sekretaris Jendral (Sekjen) SPP untuk 3 Kabupaten. Agustiana lalu mendatangi Cibenda dan memberikan nasehat yang berharga, bahwa untuk memperjuangkan tanah diperlukan organisasi yang kuat. Maka di Cibenda dibentuklah organsasi tani local (OTL). Agustianalah yang menetapkan kampung tujuan saya.
Kasus-kasus yang sering membelit masyarakat inilah mendorong dibentuknya organisasi tingkat local, sehigga warga masyarakat lebih muda untuk mengorgansir diri dalam gerakan merebutkan tanah mereka. Peran dari aktivis mahasiswa, pemuda, sangatlah besar. Untuk menyedarkan masyarakat kampung yang selama ini diintimidasi oleh kekuasaan pemerintah, seihingga masyarakat dapat memahami, bahwa mengambil kembali tanah adalah hak mereka.
SPP kini telah menjadi organsiasi gerakan petani  terbesar diseluruh Indonesia.  Dengan agenda utama adalah merebut kembali tanah petani pasundan. SPP yang semakin kuat dan besar di akui oleh pemerintah daerah hingga kalangan aktivis di tingkat nasional. Pernyataan ini berasal dari berbagai kalangan aktivis gerakan di Jakarta yang saya temui setelah kembali ke Jakarta. SPP juga aktif bersolidaritas dengan organisasi-organisasi pergerakan sectoral lainnya di Indonesia.

Menuju  Kampung
Perjalanan yang seharusnya berjarak waktu 2 Jam harus kami lalui selama 5 jam. Hal itu terpaksa dilakukan,  sebab terlebih dahulu mengantar beberapa kawan ke kampung-kampung bagian selatan kota Tasikmalaya. Sehingga Iwa, mengusulkan untuk melanjutkan saja perjalanan melewai pesisir pantai. Iwa adalah aktivis SPP berasal dari kampung tujuan saya, Cieceng. Dia diberi mandate oleh SPP Tasikmalaya untuk menemani saya selama 3 hari di kampungnya.
Perjalannya berlku-liku dan terjal. Jika boleh disamakan dengan Kota-kota di Papua, maka perjalanan kita dari sentani Kabupaten Jayapura menuju Genyem. Namun perjalanannya lebih jauh lagi, seperti dari Kota Merauke hingga tiba di Kabupaten Boven Digoel yang kurang hamper 400 km perjalanan.
Melelahkan tentu saja, tetapi berada di negri yang baru saya datangi adalah sesuatu yang luar biasa. Saya bukanlah orang yang suka tertidur dalam perjalanan. Saya menikmati setiap jejak alam indah di tanah Pasundan itu. Bukit yang hijau, sawah yang berderap-derap, perkampungan yang sederhana dan khas negri Sunda. Gunun-gunung yang menjulang tinggi semakin meneguhkan setiap karya Tuhan bagi manusia. Inilah negri yang oleh Koes Plus disebut “negri surga, tongkat kayu dan batu jadi tanamana”.
Pukul 17.00 kami masuk kesebuah jalan yang kecil, dua meter ukuran jalan itu. Pada satu kilo meter perjalan awal, jalan masihlah dapat dilewati dengan baik, namun setelahnya, mobil yang saya tumpangi seperti perahu ditengah lautan dan terus menerus dihantam gelombang. Disebabkan jalan bebatuan dan tidak beraspal dan kami harus masuk hampir 20 km perjalanan. Ini membuat saya semakin lelah dalam perjalanan menuju kampung Cieceng. Akhirnya pada pukul 18.00, waktu sudah mulai gelab kami tiba di kampung itu. Kelihatannya jalan utama kampung ini hanya satu dan lurus, rumah-rumah warga terlihat berada diantara bukit dan lereng bukit.
Kesaksian Warga Cieceng
Sesampainya di kampung Cieceng saya di ajak oleh Iwa, menuju rumah ketua Organsiasi Tani Lokal (OTL) SPP, yang berjarak kurang lebih 200 m. Kami menaruh barang kami dan memperkenalkan diri pada beliau. Ketua OTL sangat rama, sehingga mengicinkan kami untuk tidur sejenak sampil menunggu makan malam, yang dibuat oleh istri dan anaknya. Tanpa merasa malu, karena sudah sangat kelelahan saya membaringkan diri. Kira-kira waktu itu adalah pukul 17.00. Saya dibangunkan untuk makan pukul 19.00 saya tidur cukup lama karena sangat letih menempuh perjalanan ini.

Setelah makan kami pindah ke rumah anggota SPP lainnya. Disana saya mulai banyak kontak dengan aktivis mudah dan tua yang sudah menunggu saya. “Selamat datang di negri pasundan, bro” kata seorang anak muda, yang saya ketahui adalah seorang aktivis guru, pada SMK milik Yayasan SPP. Bagi guru muda ini SPP adalah bagian tidak terpisahkan dari kampung ini. “Besok, baru orang tua dikampung ini akan datang, bro bisa langsung bertanya kepada mereka, saya ini hanya genarasi mudah, hanya melanjutkan perjuangan saja”, katanya sambal tersenyum ramah.
Beberapa pemuda lainnya yang juga mulai datang duduk dan bergabung bersama kami,  adalah guru-guru yang lebih mudah. Ada guru SD dan SMP milik Yayasan SPP. “bro besok ke sekolah ya lihat-lihat, atau mungkin mau ngajar sehari juga boleh”.
Sekolah yang ada di kampung ini adalah milik Yayasan Petani Pasundan. Ketua Yayasannya adalah Erni, wanita yang menjemput saya awal di kota Tasikmalaya. Yayasan ini menaungi semua sekoalh SPP diwilayah Jawa Barat, bukan hanya di kota Taskimalaya, tetapi, Garut, Ciamis, hingga Pangandaran. Sekolah disini terdiri dari SD,SMP, dan SMK, dilengkapi juga oleh Pesantren. Paling penting tidak memungut biaya kepada siswa alias gratis.
Sekolah disini memliki 28 guru, 6 diantaranya adalah sarjana pendidikan, lainya adalah tamatan SMA. Semua guru adalah kader dan aktivis SPP, mereka yang adalah pemuda kampung disini, yang telah mengangap bahwa menjadi guru disini adalah melanjutkan perjuangan, tidak di gaji tidak lagi penting.
Seperti yang sudah dijanjikan, keesokan harinya saya berjumpa dengan tokoh masyarakat di kampung ini dan secara bergantian mencari tahu,seluk beluk, berdirinya kampung ini. Ada Bapas Asso, seorang yang harus membutuhkan penerjemah Bahasa sunda. Bapak Atang, bapak Tatang, Ustad Parman, ada juga seorang wanita yang saat itu mengabil peran penting di kampung, Ibu Dewi namanya. Dari kesaksian mereka diketahui sejarah berdirinya kampung ini.
Menurut mereka, kehidupan warga kampung dahulu jauh dari kata layak. Sebab ratusan warga dan anak-anak hanya hidup dipinggiran sungai Ciharuman. Hampir 800 hektar tanah adalah milik perkebunan PTPN Nusantara 8. Warga yang notaben hanya hidup di 300 hektar lahan. Tempat tingga mereka pun rawan  ancaman banjir dan lonsor. Bahkan lahan makanan untuk ternak saja tidak ada sama sekali. Terpaksa selama 25 tahun sebagian warga bekerja sebagai buruh perkebunan tersebut yang hanya di bayar Rp.250,- Rp 1.500,- perhari, pada tahun 2000 naik menjadi Rp. 7.000 perhari. Itu sama sekali tidak mencukupi. Tidak jarng buruh dan keluarga di perkebunan mendapat pelecehan oleh preman yang menjaga perusahaan.
Hingga pada akhirnya masyarakat memutuskan melawan balik pihak perusahaan. Puncaknya ketika seorang warga kampung di pukul dan siksa hanya karena ternaknya memasuki wilayah perkebunuan. Kejadian itu terjadi pada tahun 2000. Masyarakat bergerak cepat membangun jaringan dan komunikasi dengan aktivis SPP di Garut dan Tasikmalaya. Sehingga perjuangan rakyat itu lebih terorganisir dan terarah.
Walaupun ratusan masyarakat selama periode 2001 hiingga 2002 menjadi buronan. Beberapa di jadikan tersangka (kriminalisasi), mendekam di penjarah selama 3 bulan, tetapi masyarakat telah bertekat untuk merebut 800 ha tanah mereka itu. Menurut warga kampung, preman dan polisi bekerja sama untuk melakukan terror dan intimidasi kepada mereka. Hingga pada tahun 2009 terjadi saing serang antara masyarakat dengan preman bersama polisi. 1 Buah mobil di bakar masyarakat, dan delapan lainnya di rusak, hanya untuk melawan balik polisi. Banyak warga yang dimintai keterangan tetapi semua lolos dari hukum karena tidak ada satu saksi yang memberatkan.
Konflik terus saja terjadi hingga pada akhirnya pihak perusahaan dan pemerintah menyerah menghadapi gerakan rakyat yang terorganisir baik itu.
Kini kampung Cieceng telah mendapat izin pengelolaan tempat tinggal dengan peraturan desa. Sehingga warga kampung berkewajiban membayar pajak kepada Pemerintah Desa, untuk pembangunan kampung-kampung lainnya di wilayah disktrik Cikatomas. Sampai hari ini masyarakat masih menunggu SK Bupati untuk kepemilikan tanah. Karena wilayah yang di organisir SPP seperti Ciamir dan Garut, telah ada SK Bupati untuk pengelolaan tanah masyarakat.
Masyarakat kampung selalu bersyukur setiap saat jika mengenang nasib mereka dan perjuangannya. Kata Bapa Tatang yang juga adalah mantan kepala kampung sejak 2001 hingga 2008 itu. Baginya, kehidupan mereka yang baik sekarang tidak pernah lepas dari perjuangan mereka, dan peran SPP selama ini. Buktinya ada sekolah di kampung ini, sudah ada listrik. Bagi masyarakat Cieceng SPP adalah organisasi untuk perjuangan setiap generasi di tanah Pasundan.



Salam
Patria o Muerte
Yason Ngelia
Maret 2016





1 comment:

  1. pengalaman yang luar biasa,inspiratif untuk membangun sebuah gerakan perlawanan .....#Jno

    ReplyDelete