Yaitu sejak makan siang di Warung “sodobondo” di Arso Kota Kabupaten Kerom pada jam 1 siang. Kami terus melaju hingga hampir setengah empat sore, Lebih tepatnya pukul 15.30.
Mama Marta yang kami tuju belum dapat dihubungi via telepon selulernya. Padahal dua hari sebelumnya kami telah membuat janji untuk mewawancarainya terkait kondisi kerja dirinya dan buruh lain.
Marta adalah seorang perempuan Papua paruh baya yang bekerja sebagai buruh di PTSP. Tujuan kami mewawancari agar dapat mengetahui kondisi buruh di PTSP khususnya para perempuan.
Padahal sebelumnya Marta telah mengkonfirmasi untuk diwawancara pada jam dua siang di salah satu area perkebunan PTSP, se usai dia istirahat kerja.
Namun selama perjalan, yaitu sejak di abepura kota jayapura hingga berada di area perkebunan ini nomor Hp mama Marta tidak dapat dihubungi.
Kami berharap dengan alamat yang dia berikan kami dapat terus melaju dengan mobil di area PTSP dan menemukan alamatnya. Namun kami keliru karena PTSP memilki banyak jalur sehingga menyulitkan kami menebak jalur yang tepat menuju perkebunan yang diberikan mama Marta.
Miskom alias mis komunikasi membuat kami berjalan diarah yang salah. Seharusnya kami menuju ke Kebun 1 siang ini kami melaju Justru hingga ke arah pabrik kelapa sawit milik PTSP dengan memutar pinggiran area kebun.
Menyadari waktu yang semakin lama, kami tidak juga menemukan tanda perumahan para buruh di kebun.
Bahkan kami tidak melihat para pekerja pada hari itu. Air mineral yang kami minum sejak di warung makan dan berjam-jam perjalanan ini membuat kami harus segera berhenti untuk kencing, jika tidak akan menjadi tabungan penyakit bagi kami.
Satu persau kami turun dari mobil untuk buang penyakit itu.
Terlihat dari jarak sekitar lima ratus meter ada tiga buah rumah penduduk yang masing-masing berjarak kurang lebih sepuluh meter. Kami mengamati bahwa ternyata terdapat toilet disebelah kanan salah satu rumah. Kami menghampiri memilih untuk meminta izin disana.
Rumah yang kami tujuh tidak besar, tidak juga mewah, tetapi dengan ukuran 3 x 5 meter terlihat nyaman bagi pemiliknya. Toilet sederhana berada di luar rumah tepat disamping kanan belakang.
Teman saya yang dipanggil Napi yang lahir dan juga dibesarkan di Kerom ini menyapa seorang perempuan papua paruh bayah.
Mama selamat sore, permisi, saya bisa tanya kah? Iya sore, bagaimana. Perempuan itu menjawab dengan ramah. Tetapi saya yang sudah tidak dapat menahan kencing lagi memutuskan untuk, memotong pembicaraan mereka dan meminta izin untuk meminjam toiletnya. Silahkan.. coba lihat ada air disekitar situ.
Setelah kecing saya kembali..
Tetapi sepertinya keahlian Napi membangun komunikasi lokal sesama warga kerom berhasil membuat dia duduk manis bersama mama itu di teras rumah.
Mama ini menyambut pembicaraan Napi yang umumnya adalah basa basih. Ternyata mama mengenal orang tua Napi, menurutnya wajahnya mirip ayahnya di PIR Arso. Setelah basa basi itu, akhirnya kami mengenal pribadi mama yang menyambut kami ini dengan Mama Mina.
Dengan saling kenalnya bapa dari Napi dan Mama Mina bersama suaminya menjadi mudah pembicaraan sore itu. Suaminya juga keluar dari rumah mereka dan duduk bersama kami. Momen ini kami pakai untuk beristirahat setelah perjalanan panjang yang ternyata tersesat itu.
Setelah lebih santai saya duduk disamping suaminya sedang mama Mina sendiri satu meter berada depan saya. Tepatnya saya berhadapan dengannya, sedang kawan Napi satu meter disebalah saya. Sebenarnya har itu kami berlima, saya Napi Rumbarar, Insos Desi, Nayak Nelwen, dan adik Tinus.
Saya mulai memperhatikan raut wajah mama dengan berlahan, agar dapat juga fokus dalam bertanya. Teman-teman yang lain juga demikian serius. Napi dan Desi mulai menyiapkan buku catatan dan alat rekam, Tinus mulai mendokuemntasikan dengan kamera Nicon milik Napi, dan Nelwen dengan sekantong pelastik pinang ditangan, dia draiver kami sehingga tidak ada beban kepada dia untuk ikut wawancara.
Terlihat jelas dari raut wajahnya bahwa dia seorang perempuan pekerja keras. Mungkin usianya sudah tidak lagi mudah saat ini, jika menebak mungkin telah mencapai 50an. Kulitnya hitam, tetapi tidak hitam alami seperti kulit orang-orang Papua pada umumnya yang berada di pusat kota. Melainkan hitam seringnya tersengat matahari, wajah yang telah mengerut tidak membuat dia terlihat lemah.
Perlahan-lahan rumah itu menjadi ramai, tanpa kami sadari beberapa orang tetangga mama Mina dan Suaminya ikut menghampiri. Mereka terdiri dari beberapa lelaki, beberpa perempuan, juga anak-anak menghampiri untuk mencari tahu.
Harus kami akui bahwa saat itu kami cukup menarik perhatian dengan mobil avansa hitam, serta perawakan saya dan teman-teman, mulai dari berpakaian, penampilan rambut. Lainnya tanpa sadar memegang buku, kamera, sangat mencolok. Itu mungin faktor menarik mereka kemari.
Namun setelah kami mengenal mereka semua yang menghampiri itu mereka hanya bertujuan mencari tau tujuan kami. Kami menjelaskan. Tetapi tidak ada dari lelaki dan perempuan itu adalah buruh di PTSP, justru mama mina adalah satu-satunya buruh PTSP yang bahkan sejak beroperasinya perkebunan 2010 hingga sekarang.
PTSP sendiri resmi beroperasi sejak 2008 dengan mulai membabat hutan dan melakukan pimbibitan dan penanaman pada 2010. Hingga sekarang pohon kelapa sawit ini telah dipanen. Mama Mina adalah narasumber utama kami. Tidak perlu kami terus jalan mencari hingga ke kebun I di barak pekeja PTSP.
Berlahan-lahan Napi menjelaskan tujuan kami dan meminta kesedian mama Mina untuk diwawancarai. Ia berserdia, dan memulia memberikan penuturan kepada kami di sore itu.
Perempuan yang diketahui telah berusia 55 tahun mulai bercerita bahwa Ia mulia bekerja di perusahaan perkebunan kelapa sawit ini sejak 2010. Saat mendaftar bekerja ia hanya bermodalkan KTP an Kartu keluarga.
Tidak ada persyaratan lainnya. Tujuan dia bekerja tentu saja memui kebutuhan keluarganya, seuaminya tidak bekerja dan hanya berkebun dan meramu selama mereka di PIR Arso. Berbeda dengan saat ini suaminya membuka bengkel somel sederhana di rumah mereka ini untuk menambah pemasukan. Anak merempuan mereka sudah berkeluarga dan tidak lagi bersama mereka saat ini.
Ketika awal—lawal pembukaan lahan dan penanaman kebun dengan menjaga bibit, menyeleksi kelayakan bibit untuk ditanami. Begitu setiap hari. Lalu selanjutnya sebagai pekerja kokeran, dia juga sempat bermindah menjadi buruh perawatan, yaitu sebagai buruh yang bertugas merawat kebersihan dan kesehatan pohon kelama sawit agar terbebas dari hama. Tentang peralatan kerja, sepatu sarung tangan, gerobak dorong tidak disiapkan perusahan mereka harus membeli sendiri.
Jam kerja Mina seperti biasa jam tujuh pagi istirahat pada jam 12 siang atau kadang jam 2 siang lalu melanjutkan lagi. Untuk mendapatkan hasil sesuai dengan target perusahaan sehari dengan bayaran Rp,129.000 Mina dan para pekerja lain bahkan bisa lebih pagi berada di perkebunan demikian pulang, juga bisa lebih dari jam yang ditentukan yaitu pada 5 sore. Tidak ada makan minum bagi para pekerja PTSP selama ini.
Perkejaan yang digeluti ini sejak awal itu sebagai Buruh Harian lepas (BHL). Dia berharap setelah bebeapa bulan bekerja. Seperti yang diketahui bersama dengan rakna-rekan kerjanya bahwa paling tidak tiga bulan atau paling lambat enam bulan bekerja, mereka dapat diangkat menjadi Buruh Tetap. Tetapi sejak 2010 itu perusahan belum mengangkat dia menjadi buruh tetap (karyawan tetap). Bukan hanya Mina kebanyaka teman-teman yang dia kenal juga tidak mendapatkan status sebagai pekerja tetap hingga sekarang.
Salah satu pekerja yang bekerja bersama mama mina dan tidak mendapatkan status sebagai pekerja tetap adalah adiknya sendiri bernama Ice. Ice sebentar lagi akan menyusul kami, anak perempuannya telah disuruh untuk menjemput Ice dirumahnya yang tidak jauh dari kami.
Mina, Ice, dan para Buruh Harian Lepas di PTSP ingin menjadi buruh tetap karena memilki keuntungan dair perusahaan menurut mereka. Seperti standar gaji sesuai UMP, memilki tunjungan kesehatan melalui BPJS bagi karyawan, mendapatkan rumah permanen di area perusahan dan juga punya peluang untuk promosi pada posisi lainnya yang lebih baik. Apalgi dengan usia semakin tua mereka sudah mulai merasakan sakit-sakitan.
Upaya-upaya sudah mereka lakukan. Seperti mendaftarkan diri dengan syarat dan ketentuan yang diberikan perusahaan. Namun hingga sekarang mereka tetap berstatus sebagai BHL. Karena seringnya melakukan permohonan menjadi buruh tetap dan tidak diterima membuat Mina, Ice dan para buruh lainnya akhirnya pasraha sebagai BHL selama 10 tahun ini.
Mina mengisahkan itu dengan serius. Diraut matanya ada rasa marah dan kecewa kepada pihak perusahaan PTSP. Tetapi dari perketaan-perkataannya mereka sudah memasrahkannya. Mungkin karena kami akhirnya bertanya mereka menjadi teringat dengan upaya mereka selama ini.
Tetapi wajar kecewa dan marah karena perusahaan berlaku diskriminatif kepada mereka selama ini. Banyak pekerja yang bekerja tidak lebih lama dari mereka kini telah menjadi buruh tetap. Bahkan ada yang hanya bekerja setahun dua tahun diangkat menjadi buruh tetap.
Paling kurang ajar dari sikap pihak perusahaan PTSP adalah mereka akan memilih-milih para pekerja yang lebih mudah dan kuat untuk menjadi buruh tetap.
Sebagai pekerja perempuan Mina dan adiknya menjelaskan bahwa tidak ada itu namanya cuti haid, atau cuti melahirkan. Sepuluh tahun bekerja ini mereka tidak mengenal itu. Kerja-kerja saja. Tidak ada izin-izin seperti itu.
Namun demikian mereka mungkin adalah buruh perempuan papua yang beruntung karena telah diberikan tanah oleh kepala suku untuk membangun rumah dan tinggal. Dari tumah itu mereka pergi beerja di pagi hari hingga sore hari tanpa takut suwaktu-waktu akan dikeluarkan dari perusahaan dan barak-barak perusahaan. Berbeda dengan ribuan karyawaan PTSP yang tidak seberuntung mereka soal tempat tinggal.
Pada area perkebunan PTSP terdpat 5 kebun. Setiap lima kebun tersebut terdapat pemukiman bagi para buruh kelapa sawit yang dapat tinggal sesuai dengan area kerja mereka. Di rumah itu ada barak yang digolongkan bagi bujanan dan bagi keluarga. Bagi keluarga bangun permanen setiap bangunan ada 2 pintu sedangkan bujangan terbuat dari kayu dengan 10 pintu kamar. Tetapi ternyata dalam menempati tersebut bahkan tidak ada peraturan. Fasilitas air bersih, MCK, tidak semua perkebunan baik. Kebun 2 misalnya bahkan tidak ada WC sama sekali, padahal kehidupan buruh mulai dari orang deasa hingga anak-anak disanan. Air waduk yang menjadi sumber MCK bahkan kotor kecoklatan.
Mama Mina dan Ice termasuk buruh yang beruntung dari sisi ini. Tetapi soal nafkan mereka semua sama saja. Penuturannya pada desember 2019 ini mereka melakkan protes kepada para mandor dan perusahaan karena tidak membayar mereka sesuai harga seharusnya. Bahkan protes ini mereka lakukan hingga di Januari dan Februari.
Bersambung...
Catatan:
1.Kisah nyatadengan nama tokoh yangdisamarkan.
2. Perjalanan pada Februari 2020
Yason Ngelia
23 April 2020
No comments:
Post a Comment