Thursday, March 26, 2020

Refleksi: Melihat basis rakyat Tertindas Papua

Saya berpendapat bahwa rakyat tertindas Papua adalah satu tubuh besar, yang wujudnya itu adalah kepala, tangan, kaki, dan sebagainya. Setiap bagian dari tubuh itu memiliki fungsinya masing-masing, untuk tubuh itu dapat bertahan hidup. terdapat peran setiap bagian tubuh dalam kesatuan tindakan.  Misalnya, kepala sakit harus dicarikan obat atau dipijat misalnya, atau ketika kaki terkilir harus dicarikan obat, seperti betadin, lalu perban (casa steril), atau untuk memaksimalkan kesembuhan bisa dibersihkan dahulu dengan air hangat sebelum perawatan dengan betadin dan perban. Begitu untuk setiap bagian lainnya.


Rakyat tertindas di Papua harus dilihat seperti itu tidak bisa di generalisir. Selama ini aktivis dan para intelektual Papua melakukan apa yang dirasanya paling benar untuk perjuangan pembebasan, dan objeknya adalah rakyat. Mereka melakukan apa yang sering mereka tuduhkan kepada pemerintah kolonial, yang nyata-nyata juga dilakukan sendiri. Jika pemerintah  kolonial melakukan apa yang disebut sentralisasi seluruh kebijakan, sebenarnya tiada bedanya dengan yang dilakukan oleh aktivis dan intelektual pembebasan di Papua. Rakyat tertindas selalu digiring untuk melakukan apa yang mereka inginkan, bukan apa yang rakyat inginkan.

Dimasa awal kolonialisme Indonesia mengeneralisir keinginan rakyat Papua sebagai cara membangun propaganda dan mengalang kekuatan politik sangat tepat. Tetapi dengan kondisi sosial politik hari ini, propaganda tentang persatuan dan nasionalisme hanya akan menumbuhkan kesadaran yang labil dan tidak berakar, bahkan tidak menutup kemungkinan menciptakan para penindas baru dari kalangan rakyat dan aktivis itu sendiri. Kalau boleh kita juluki, mereka adalah penghianat yang tidak bersalah karena gerakan pembebasan pada titik tertentu menjadi buntu dan hanya memberikan jalan kompromi terhadap penindasan.

Mengapa demikian? karena gerakan pembebasan tidak beradaptasi terhadap perubahan sosial, politik, bahkan budaya rakyat tertindas. Perubahan-perubahan itu terjadi dengan cepat baik secara alami maupun sengaja dikondisikan (di ciptakan) dan di kontrol kekuasaan kolonial  dan imperialis itu sendiri.

Pertama,  mereka membentuk kembali kesadaran kesukuan (premordialisme) di Papua melalui Otsus dan pemekaran. Cara ini mudah dilakukan karena Papua memiliki 300-an suku yang pada dasarnya berbeda satu dan lainya. Persatuan awal oleh para misionaris dan Belanda itu telah dihancurkan dengan ego dan sentimen-sentimen di era Otsus. Otsus tidak hanya merusak hubungan antara suku bangsa Papua tetapi juga kepada para penduduk transmigran yang dimobiliasi kolonial datang menetap di Papua dan tidak lagi mengetahui cara untuk kembali ke daerah asal, mereka ini sekarang adalah kelompok rentan dari terciptanya politik identitas hari ini.

Dampak lain Otsus yang luput dan jauh dari gerakan pembebasan, yaitu terciptanya rakyat perkotaan (urban) yang semakin kompleks di wilayah pemekaran. Yang pertama adalah kemiskinan. Kemiskinan Papua meningkat dan menjadi nomor satu di Indonesia, itu dapat kita lihat pada pusat-pusat kota di seluruh Tanah Papua, dengan tingginya anak putus sekolah, meningkatnya anak jalan atau dikenal dengan anak aibon, prostitusi anak dibawah umur, hingga meningkat juga kriminalis karena ini.

Kelompok urban berikut adalah ASN dan pengusaha, mereka adalah kelompok yang relatif stabil secara ekonomi, karena karakteristik yang oportunis dan tunduk dibawah kekuasaan kolonial. Walau begitu kelompok ini lebih sadar dalam mengikuti fenomena sosial dan politik, termasuk mengikuti perkembangan perjuangan politik kemerdekaan. Sehingga orientasi politik rakyat urban jenis ini sangat fariatif dan sulit ditebak.

Kedua, penguasaan setiap wilayah tanah Papua berdasarkan kepentingan investasi ekonomi. Setiap daerah yang menjadi sasaran investasi diciptakan konflik berkepanjangan disana. Sehingga energi rakyat untuk perjuangan terkuras dengan perjuangan perampasan tanah adat, konflik antara suku, antara etnis, bahkan dengan pemerintah tingat daerah mereka masing-masing.

Konflik masyarakat adat ini bahkan berdampak langsung kepada para perempuan asli yang masih terhubung langsung dengan lingkungan asli dan adat istiadat, mereka terpaksa harus berubah. Sebagian menjadi buruh tanpa skill dalam perusahaan diwilayah mereka, sebagian memilih mengantungkan hidup menjadi pedagang kecil yang diupakan (kita sebut mama-mama pasar).

Akhirnya terciptanya ketergantungan terhadap dua hal diatas. Sebagian rakyat tertindas  Papua menaruh harapan masa depannya pada Otsus yang diberikan kolonial. Khususnya masa depan wilayahnya sendiri, misalnya Anim-Ha berharap Otsus mempu membangun daerahnya. Proses pembangunan 25 tahun Otsus menghapus persatuan dan kesatuan rakyat tertindas di Papua. Sedang investasi menjadi satu penyebab utama melonjaknya jumlah penduduk Papua setiap tahun (sejak Freeport 1967). Terjadi percampuran berbagai hal disana, terjadi asimilasi kebudayaan antara suku bangsa, persamaan senasib sebagai kaum pekerja (buruh), karena ketidakadilan oleh perusahaan dapat membentuk kesadaran perlawanan, namun gerakan buruh Papua masih reaksioner.

Dengan kondisi rakyat Papua seperti ini kebanyakan aktivis dan intelektual di Papua lebih mengerjakan dampaknya yaitu pelanggaran HAM. Dengan memblow-up masalah-masalah (dampaknya)  terutama kepada anggota dan simpatisannya. Selanjutnya urusan media untuk menyabarkannya lebih masif. Ini hanya menciptakan aksi-aksi reaksioner di pusat-pusat kota pemerintahan dan kota-kota studi.

Ukuran keberhasilan gerakan sipil untuk pembebasan sampai dengan hari ini tidak pada kesadaran ideologis rakyat tertindas di Papua yang disebutkan diatas, melainkan aksi reaksioner yang memainkan emosional masyarakat urban, yang jelas-jelas akan berubah dengan cepat ketika para aktivis harus di tangkap di penjarahkan, naas harus mati. Gerakan pembebasan Papua masih  berkutat disana.

Untuk membangun gerakan perjuangan yang ideologis para aktivis dan intelektual gerakan harus beraptasi dengan kondisi penindasan, terutama kondisis real rakyat tertindas bukan kondisi subjektifnya. Bahwa rakyat tertindas Papua harus merdeka adalah tujuan bersama, tetapi fakta bahwa  ketertindasan itu lebih spesifik lagi. Seperti bagian tubuh yang berbeda-beda fungsi dan tidak bisa disamaratakan. Jika ia, maka gerakan pembebasan terus berputar pada semangat propaganda dan aksi-aksi reaksioner. Gerakan seperti akan mudah dihancurkan hingga ke akar-akarnya.

Bagaimana harus dilakukan? Mulailah membangun basis-basis sektoral sesuai kondisi yang relafan pada basis rakyat tertindas di kota-kota. Secara detail mengidetifikasi kelas-kelas sosial rakyat tertindas di Papua sebagai langkah strategis dan sistematis, dan mulailah organisir. Seperti organisir mama-mama pasar, organisir buruh, organisir kaum miskin kota, orginisir masyarakat adat, organisir nelayan, organisir petani, dan semua kelas tertindas yang diketahui. Ini adalah sel-sel dari tubuh rakyat tertindas yang sakit dan tidak diobati itu. Tentu pekerjaan ini tidak akan mudah karena lebih idelogis ketimbang propaganda isu  dan aksi reaksioner.

Bagi saya memimpikan partai-partai revoluioner tanpa basis penindasan yang terorganisir dalam sektoral adalah mimpi disiang hari. Sebab rakyat yang sadar secara ideologis adalah rakyat yang mengenal bentuk penindasan terhadap dirinya dan mau melawan, itu bukan kesadaran oleh propaganda melainkan karena pendidikan politik bertahap dan yang masif di sektor-sektor kelas sosial. Ini tahapan awal membangun kembali persatuan nasional rakyat tertindas Papua yang telah luntur itu.




Yason Ngelia
26 Maret 2020

No comments:

Post a Comment