Lalu mereka mengirimkan undangan via email - “kepada kawan-kawan pimpinan GempaR di tempat. Berikut saya kirimkan dalam bentuk CA PRP yang akan dilaksakan besok, Sabtu 12 Maret hingga Minggu 13 Maret 2016. Terimakasih”. - Saya tidak membalas pesan itu karena kehadiran kami sudah disampaikan secara lisan lebih dahulu.
Selanjutnya kami ketahui bahwa CA PRP adalah akronim dari Calon Anggota Partai Rakyat Pekerja (CA PRP). Salah satu dikpol rutin PRP setiap bulan-nya untuk merekrut anggota baru, lebih tepatnya individu-individu yang telah lebih dulu bersedia menjadi anggota PRP. Sedangkan status kami berdua disana sebagai peserta tamu karena kebetulan sedang berada di Jakarta dan mengenal seorang kawan di antara mereka. Sehingga undangan itu kami sambut baik.
Lebih lagi kami sering mendengar bahwa Jakarta di era reformasi memiliki dinamika pergerakan yang semakin kompleks. Khususnya perdebatan-perdebatan mereka, perpecahan-perpecahan organsiasi mereka, baik ditingkat partai pelopor, serikat-serikat, bahkan juga hingga gerakan mahasiswa-nya. Bahkan tidak sedikit dari individu-individu yang akhirnya memilih tidak melibatkan diri dalam organisasi revolusioner karena alasan itu, namun tidak membuat mati pergerakan, justru pergerakan terus berproses dengan dinamika-nya. Sejarah pergerakan seperti itu adalah sebuah laboratorium penting dalam melihat positif dan negatif sebuah gerakan jika kita benar-benar mau belajar dan berjuang.
Kami yakin PRP sendiri tidak terlepas dari proses dan dinamika pergerakan di Jawa, atau secara khusus di Jakarta. Karena sebelum menjadi “partai” PRP lebih dikenal sebagai Perhimpunan Rakyat Pekerja, yang di awal pertemuan nasional mereka di Solo 13-15 Mei 2004, dihadiri berbagai perwakilan di beberapa kota dan tentu pasti berbeda strategi organisasi-nya. Selanjutnya pada kongres nasional mereka pada 1-4 September 2006 di Jakarta diputuskan bahwa PRP akan membangun Partai kelas pekerja.Lalu di kongres Bogor, 23-26 Januari 2009, PRP diamanatkan untuk menjadi Partai kelas pekerja, dan pada akhirnya di kogres ke III 22-25 November 2012 mereka akhirnya membentuk Partai Rakyat Pekerja atau PRP.
Perjuangan utama PRP adalah mengakhiri sistem kapitalis di Indonesia dan membangun sosialisme, yaitu sebuah sistem sosial dimana alat produksi, distribusi, dan pertukaran dimiliki secara sosial serta digunakan untuk kepentingan seluruh rakyat. Sistem sosialisme juga bersifat partisipatif dan didasarkan atas kontrol kelas pekerja terhadap alat produksi, dengan tetap menghormati dan melindungi kepemilikan individu.
**
Singkat cerita, kami pun tiba Jln Mampang Prapapatan ,13 Maret sekitar pukul 12.00. Disana kami disambut ramah oleh para kawan di sekretariat mereka. Kami menyalami tangan mereka satu persatu, diakhir dengan perkenalkan diri.
Setelah berada didalam ruang utama, saya mengamati setiap dari mereka. Beberapa pemuda terlihat lebih senior, sedangkan separuh dari itu adalah seumuran dengan kami, hanya ada dua kawan perempuan disana. Penampilan para aktivis pada umumnya sama saja “sederhana”, tidak ada yang nampak berjuis disana.
Beberapa dari mereka duduk secara terpencar, tetapi terlihat 5 orang pemuda sudah duduk melingkari sebuah meja berukuran sedang sambil mendengarkan pemaparan materi oleh seorang kawan yang kebetulan adalah perempuan. kami menyesuaikan bersama para pemuda yang sedang duduk melingkar di salah satu meja dan mengikuti secara seksama.
Materi dikpol hari itu antara lain; Revolusi sosialis dan masyarakat komunis. Partai Kelas. Tentang organsiasi mereka Partai Rakyat Pekerja dan KPRI. Sedangkan di hari kemarin, 12 Maret, materinya terbilang dasar, dan kami cukup menyesal tidak mengikutinya. Antara lain, Kehidupan material manusia, Tatanan Kehidupan Masyarakat, Tatanan kehidupan masyarakat kapitalis, dan revolusi sosial. Hingga malam hari mereka melanjutkan dengan berdiskusi sebuah film.
Setelah lewat waktu siang-hingga sore hari, dikpol berakhir. Barulah kami lebih santai untuk menyapa dan bercerita dengan beberapa pemuda dari mereka. Dalam diskusi kami ketahui, bahwa dikpol ini adalah aktifitas rutin mereka setiap bulan, untuk calon anggota baru PRP, biasanya pemuda dan mahasiswa, soal peserta mereka selektif dan terbatas 5 sampai 6 orang saja. Untuk penyajian materi, diwajibkan kepada kawan-kawan anggota PRP yang sebelumnya menjadi peserta dikpol. Tapi yang membedahkannya, pemateri tentu bukan sembarangan orang, lebih dikhususkan bagi kawan-kawan yang maju dalam pemahaman materi itu.
Proses dikpol seperti ini terlihat lebih terbuka dengan pembelajaran kritis, dan perdebatan-perdebatan, itu sangat menarik karena peserta (calon anggota) tidak hanya sebagai pendengar, tapi turut dalam membangun proses pembelajaran bersama. Kuncinya menurut saya, ada pada kurikulum dikpol yang sudah ditentukan. Kurikulum ini membuat skema dikpol penerimaan anggota /kader seperti itu, sehingga setiap pemaparan oleh kader akan dilengkapi melalui diskusi yang mendalam dari materi, sangat menarik. Praktik seperti ini bertujuan untuk memperkaya ilmu pengetahuan para kader maupun secara khusus calon anggota PRP itu sendiri.
Calon anggota PRP sendiri rupanya datang dari berbagai kalangan, beberapa telah selesai kuliah dan bekerja, beberapa lagi adalah mahasiswa, saat disanalah kami akhirnya mengetahui bahwa di Universitas Indonesia (UI) memiliki Serikat Mahasiswa UI atau SEMAR UI. Bersama seorang kawan dari SEMAR UI kami banyak diskusi tentang mahasiswa dan bentuk serikat-serikat yang mungkin bisa juga dilakukan di Papua, bahkan kami diundang berjumpa dengan semua kawan di SEMAR UI di kampus mereka. Namun semua tinggal diskusi dihari itu alias tidak terlaksana!
Hari makin gelab. Beberapa orang pemuda terlihat memasuki pintu, seorang diantaranya kami kenal, kemudian seorang pemuda lain berperawakan sedang dan ber rambut gondrong, kami akhirnya mengenalnya dengan nama Sastro. Sastro sendiri adalah seorang petinggi di Partai Rakyat Pekerja itu. Kehadiran Sastro membuat diskusi non formal lebih terpusat pada diri-nya, soal pendapat dan argumentasi-nya soal isu yang kami bahas. Setiap anggota PRP juga memberikan masukan-masukan penting di malam itu.
Tapi pembahasan tidak hanya soal PRP, kami juga berkisah tentang bagaimana gerakan dan kondisi Papua saat itu. Dari pembahasan itu tersirat sikap PRP menyangkut penentuan nasib sendiri bagi Papua. Menurut mereka kemerdekaan Papua sekalipun belum menjamin Papua menjadi wilayah yang terbebas dari kapitalisme global, bahkan menurut mereka dapat lebih buruk ketimbang bersama Indonesia hari. Argumentasi soal Papua seperti itu diakui sedang terjadi di internal PRP maupun lintas gerakan kiri di Jakarta, banyak yang menunda dukungan politik kepada Papua tetapi banyak pula yang mendukung. Seperti PPR, Pembebasan, Lingkar Sosialis Jogja, Sebumi, yang berada dalam sebuah Front yang kita kenal bernama “FRI-West Papua” dengan Surya Anta Ginting sebagai Jubir-nya.
**
Bro mau kopi? Ini langsung dari petani, nyesal kalau kalian tidak cicipi. Seorang kawan memotong pembicaraan kami. Ia bertanya, lalu mulai menyiapkan kopi bersama peralatannya, beberapa menit kemudian kopi disajikan dihadapan kami. Diminum Bro!.
Kopi ini dari petani, tepatnya dari serikat petani yang adalah anggota dari PRP. Para petani menjual Kopi dikalangan serikat petani dan partai terlebih dulu sebelum kopi mereka keluar dan bersaing dipasar, ini wajib dibeli oleh anggota PRP. Mereka menjelaskan. Keputusan dalam kongres partai kita seperti itu, jadi petani yang tergabung dalam serikat, dan serikat di dalam partai (PRP), maka partai bertanggujawab untuk menginstruksi para anggota-nya membeli.
Ini prodak original yang cepat pasaran internal PRP, karena selera para aktivis dan masyarakat akan kopi cukup tinggi. Tetapi yang kurang mencapai target penjualan diinternal justru rokok. Kami sudah mulai mencoba rokok dari para petani, cuman lidah kawan-kawan sudah terlanjur ke rokok kapitalis (haha), sulit beralih dari rokok lama ini (gudang garam, malboro, LA). Kami lalu tertawa bersama untuk kondisi itu, namun menyadari bahwa itu adalah persoalan serius, bahwa kebanyakan aktivis gerakan dimanapun selalu berada pada titik tertentu, belum benar-benar dapat terlepas dari hal-hal terlihat sepeleh namun sebenarnya subtansial dari perjuangan itu sendiri yaitu melawan kapitalisme, yang tidak hanya soal sistem dan modal yang menjerat tetapi soal prodak-prodak mereka yang ikut membunuh prodak dari para petani miskin.
Seperti itu! Tetapi kami bersama yakin upaya dan perjuangan kawan-kawan PRP untuk mengahiri sistem kapitalisme dan membangun sosialisme di Indonesia menjadi cita-cita politik luhur yang suatu saat akan tercapai. Lebih lagi di hari-hari ini dengan melihat kondisi nasional dan internasional, banyak orang dapat bersepakat bahwa kapitalisme sedang goyah.
**
Saya memetik pelajaran lagi, bahwa pola pengorganisiran kelas sosial tertindas seperti yang mereka lakukan kepada; Petani Kopi, Petani rokok, Buruh, Masayrakat adat, atau semunya itu adalah hal yang mendasar yang kami pelajari hari itu. Walaupun mungkin hanya diskusi sambil lalu bersama mereka. Yang menarik adalah, itu justru bukan satu gagasan baru dikalangan pergerakan, tetapi ini adalah teori klasik dari gerakan kiri, tentang pengorganisiran kelas sosial tertindas sebagai pelaku utama dalam melawan eksploitasi dan penindasan sistem kapitalis. Sehingga peran dari partai kiri revolusioner ini adalah mengakomodir kekuatan sosial dari kelas tertindas itu untuk merebut hak dan menghancurkan kapitalisme.
Dari proses ini Partai kiri bertangjawab terhadap basis-basis sektoralnya, seperti serikat/organsiasi Petani, Buruh, masyarakat adat, perempuan, kaum miskin kota dan sebagainya. Sedangkan serikat/organsiasi bertangjawab terhadap seluruh rakyatnya atau individu-individ anggotanya. Untuk mengerjakan sistem organisasi disemua tingkatan, dibutuhkan kader-kader sebagai pelaku utama. Sehingga partai/organisasi ditingkat basis sektoral memilki tugas adalah mempersiapkan kader yang paham ideologi perjuangan kelas tertindas. Tanpa kader progresif di basis-basis sektoral pergerakan akan hilang arah dan tujuan besarnya.
Esensi yang kami berdua dapat dari diskusi ke diskusi adalah bahwa gerakan kiri sejatihnya adalah gerakan idelogis yang melihat basis sekoral sebagai jalan utama perjuangan politik, tetapi justru itu yang belum nampak di Papua, sebagai satu wilayah tertindas dari kolonialisme mapun kapitalisme. Bentuk-bentuk perjuangan sektoral yang kami temui selama ini di Papua dilakukan tidak pada konsep idelogis oleh aktivis sosial bersama rakyatnya, sehingga kapanpun bisa berbelok arah juangnya dan tidak pada terbentuk kesadaran politik.
Begitulah.! Karena waktu semakin larut, kami berdua pun akhirnya harus pamit dan kembali ke Pasar Minggu..
***"
(Tulisan ini adalah sebuah kenangan yang sayang jika tidak disimpan diblog ini. Namun yang berat adalah ternyata untuk mengingat kembali kenangan lama itu, 2016. Jika terdapat salah dalam menjabarkan kembali pertemuan ini, mohon dimaafkan. Salam Juang kawan-kawan !)
Port Numbay, 5 April 2020
Yason Ngelia
Salut
ReplyDelete🙏
ReplyDelete